18 Mei 2004

// // Leave a Comment

Tanggung Jawab KPU dalam Pemilu Presiden

Oleh: Abdurrahman Wahid

Pada pekan yang lalu, seseorang mendatangi kantor penulis. Dikatakannya kepada penulis, al-Mukarom KH.Chotib Umar dari Jember meminta kedatangan penulis ke pesantren beliau untuk mengadakan rapat umum sebelum keputusan Komite Pemilihan Umum (KPU) tentang boleh tidaknya penulis menjadi Calon Presiden RI tanggal 5 Juli 2004 yang akan datang. Karena itu penulis menetapkan akan ke Jember pada 21 Mei 2004, sehari sebelum keputusan dikeluarkan oleh rapat KPU. Ketika anak penulis, Yenni menghubungi pihak al-Mukarom KH.Chotib Umar, ia pun mendapat pemberitahuan dari putra beliau justru sebaliknya, bahwa penulis lah yang diberitakan meminta beliau mengadakan rapat umum itu pada tanggal tersebut. Keesokan paginya, Al-Mukarom KH.Chotib Umar menelepon penulis sendiri, dan menanyakan benarkah memang demikian kehendak penulis?

Penulis tahu bahwa dalam hal ini ada yang berdusta dengan menyampaikan kepada Kyai itu, penulis yang menghendaki pertemuan sebelum rapat KPU. Sedangkan kepada penulis dinyatakan, bahwa itu adalah kehendak Kyai sepuh tersebut. Ini berarti, bahwa tujuan semulia apa pun yang dikandung oleh pertemuan-pertemuan itu, hendak diwujudkan dengan cara-cara yang tidak benar. Ini jelas merupakan pencapaian tujuan mulia dengan cara-cara yang tidak mulia. Penulis tidak dapat mengikuti jalan pikiran seperti itu, karena itulah penulis mengurungkan untuk hadir dalam rapat umum di pesantren Kyai kita itu pada 21 Mei 2004. Dan penulis memutuskan untuk memperluasnya menjadi rapat umum plus pertemuan Buntet III pada 23 Mei 2004. Namun karena penulis mengetahui beliau juga tidak siap dengan sebuah rapat umum yang dimajukan, maka penulis menyatakan tidak perlu rapat umum itu diadakan tergesa-gesa

Dengan dimajukannya waktu pertemuan tersebut, penulis tahu bahwa perencana hal itu ingin menghindarkan pertumpahan darah yang dapat timbul akibat bentrokan fisik, yang diperkirakan dapat terjadi manakala penulis tidak ‘diijinkan’ oleh KPU untuk menjadi calon presiden dalam pemilu tahun 2004 tanggal 5 Juli nanti. Bagaimana reaksi masyarakat atas penolakan tersebut, jika penulis diputuskan KPU untuk tidak boleh menjadi calon presiden? Apapun bentuk reaksi yang terjadi, itu adalah tanggung jawab KPU dan bukan tanggung jawab siapa-siapa. Tidak layak bagi siapapun untuk berlindung di balik surat-surat keputusan yang melarang pencalonan penulis itu, karena jelas bertentangan dengan UU No.4/ 1997, dan dapat ditafsirkan menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Semua pihak sudah mengetahui semua resikonya, dan yang bersalah dalam hal ini akan dihukum oleh rakyat sendiri. Bahkan jika reaksi itu berakhir pada tindakan fisik yang penulis tidak kehendaki, karena sebagai pengikut mendiang Mahatma Gandhi dengan sendirinya penulis jelas tidak akan meminta masyarakat untuk menggunakan kekerasan.

Setelah itu, penulis akan golput karena berada di luar sistem politik yang ada. Justru menjadi tidak wajar, jika penulis ikut-ikutan menentukan yang kalah dan yang menang. Dalam hal ini, penulis tidak akan turut serta dalam pemilihan presiden tahun 2004, dengan segala akibat-akibatnya. Walaupun itu hanya berakhir pada banyaknya golput karena tidak mengikuti pemilu tersebut, itu juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU. Tepatlah kiranya ungkapan dari syair lagu dangdut “kau yang mulai dan kau yang mengakhiri.” Dan juga penulis tidak menentang sikap golput dalam pemilu itu. Sikap itu terpaksa diambil penulis, karena alternatifnya adalah kekerasan yang penulis tolak itu, agar tidak terjadi.

Dalam sebuah tulisan lain, penulis menyatakan bangsa kita adalah bangsa yang tidak dapat diprediksi apa reaksinya terhadap sebuah tindakan yang mereka anggap sebagai tindakan lalim terhadap pemimpinnya. Menurut sebuah ungkapan ”agama rakyat adalah agama para pemimpin mereka” (Din al-raiyyah a’lla dini mulikihim). Jelas dengan demikian, reaksi masyarakat atas sebuah tindak kelaliman, tidak akan berupa tindakan lembut, melainkan akan menjadi brutalitas dalam ukuran sangat besar. Hal itu adalah kesalahan KPU dan orang-orang di belakangnya karena telah mengambil tindakan yang salah. Guru kecing berdiri murid kencing berlari, itu adalah pepatah yang tampaknya mengatur hidup kita.

Sekali penulis melihat adanya tindakan tidak demokratis seperti penolakan itu, maka penulis tidak akan melakukan tindakan apapun di luar protes, pengajian, tulisan dan hal hal lain yang mendorong tumbuhnya demokrasi bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Demokrasi adalah cita-cita penulis, dan untuk itu ia akan berbuat apa saja dengan tidak melanggar hukum.

Ada hal yang sebenarnya lebih menarik untuk diperhatikan, yaitu sikap penulis terhadap mereka yang namanya menjadi Caleg (calon legislatif) terpilih dalam pemilu legislatif yang lalu. Kalau ada yang menghendaki diangkat sumpah sebagai anggota DPR-RI hal itu dapat dimengerti, sebagai urusan “periuk nasi.” Tetapi kalau jumlah mereka merupakan mayoritas, dengan sendirinya penulis tidak dapat lebih lama tinggal dalam sebuah parpol yang ‘memenangkan’ terjadinya kelaliman. Dalam keadaan seperti itu, penulis dengan resmi akan keluar dari PKB dan membentuk sebuah partai politik baru dengan nama PDB (Partai Demokrasi Bebas). Parpol baru itu tentu akan kerjasama dengan mereka yang memperjuangkan demokrasi. Tindakan ini adalah sesuatu yang wajar bagi orang yang memperjuangkan demokrasi di tanah air kita saat ini. Ini adalah konsekwensi berideologi seperti itu, yang keberatan hanyalah mereka yang menginginkan status quo/ tetapnya keadaan yang berjalan.

Demokrasi merupakan hal yang menjadi panutan penulis, di samping kemerdekaan. Penulis yakin, kemerdekaan tanpa demokrasi adalah sesuatu yang tidak berarti bagi kehidupan suatu bangsa Telah terbukti, bahwa kemerdekaan kita ternyata berwatak semu saja, karena hanya bersandarkan pada kata-kata kosong yang tidak akan membawa demokrasi yang kita rindukan itu. Pertanyaannya, mengapakah begitu banyak orang tidak sama antara kata dan perbuatan mereka mengenai demokrasi? Sebabnya, karena ambisi politik pribadi mereka jauh lebih kuat dari pada kecintaan mereka kepada kemerdekaan, tanah air dan bangsa. Karenanya, yang menjadi tugas di hadapan kita adalah mencari para pemimpin yang benar-benar mencintai kemerdekaan tanah air dan bangsa, lebih dari ambisi politik pribadi yang mereka miliki. Apalagi setelah reformasi ‘dicuri’ orang dan para pemimpin kita sekarang ini menyimpangkan sistem politik dari konstitusi, seperti terkesan dari DPR RI yang bertugas lebih besar dari pengawasan atas pihak eksekutif dewasa ini.

Memang banyak yang harus dibenahi, dan ini adalah tugas berat yang harus dilakukan jika kita menginginkan kemerdekaan dan demokrasi bagi negara kita Pelanggaran demi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar harus diselesaikan, peraturan-peraturan dan undang-undang yang menyimpang dari konstitusi harus diperbaiki, dan hak-hak sipil warga negara harus dipulihkan. Tanpa hal-hal itu, jelas demokrasi tidak akan dapat ditegakkan dan sudah tentu arti kemerdekaan kita menjadi sangat jauh dari demokrasi itu sendiri. Ini adalah kenyataan yang tidak terbantahkan, yang sekarang ini diabaikan oleh tipu daya, manipulasi dan kecurangan di berbagai bidang, termasuk dalam persiapan dan pelaksanaan dalam penghitungan suara pemilu seperti terjadi saat ini.

Hal-hal di atas menunjukkan dengan jelas kepada kita, bahwa menegakkan demokrasi bukanlah perkara yang gampang. Dibutuhkan keberanian kita sebagai bangsa untuk menegakkan demokrasi secara bertahap, seperti apa yang seharusnya dilaksanakan. Pencurian reformasi, seperti terjadi sekarang ini tidak akan terkikis tanpa keberanian seperti itu. Memang demokratisasi membutuhkan waktu sangat lama untuk terwujud yaitu antara 80 - 90 tahun. Tetapi, pepatah Tiongkok kuno mengatakan perjalanan sepuluh ribu lie (lima ribu kilometer) dimulai dengan ayunan langkah pertama. Kalau kita bercita-cita menegakkan proses demokratisasi di negri kita, berarti ditentukan oleh langkah pertama menuju ke sana. Kedengarannya memang sederhana untuk dilakukan, tetapi sangat sulit dilakukan dalam kenyataan, bukan?


Jakarta, 18 Mei 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar