Elise - A Responsive Blogger Theme, Lets Take your blog to the next level using this Awesome Theme

This is an example of a Optin Form, you could edit this to put information about yourself or your site so readers know where you are coming from. Find out more...


Following are the some of the Advantages of Opt-in Form :-

  • Easy to Setup and use.
  • It Can Generate more email subscribers.
  • It’s beautiful on every screen size (try resizing your browser!)

21 April 2009

// // Leave a Comment

Sebuah Era dengan Kejadian-Kejadian Penting

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pada tahun 1919, HOS Tjokroaminoto bertemu tiap hari Kamis siang di Kota Surabaya dengan dua saudara sepupunya. Mereka adalah KH M Hasjim As'yari dari Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang dan KH A Wahab Chasbullah.Tjokroaminoto disertai menantunya Soekarno, yang kemudian hari disebut Bung Karno.

Mereka mendiskusikan hubungan antara ajaran agama Islam dan semangat kebangsaan/ nasionalisme. Terkadang hadir HM Djojosoegito, anak saudara sepupu keduanya, yang kemudian hari (tahun 1928) mendirikan Gerakan Ahmadiyah. Dari kenyataan-kenyataan di atas dapat dipahami mengapa Nahdlatul Ulama didirikan tahun 1926, selalu mempertahankan gerakan tersebut.

Di kemudian hari, seluruh gerakan Islam itu dimasukkan ke elemen gerakan yang berupaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Itu adalah perkembangan sejarah. Ada generasi kedua dalam jajaran pendiri negeri kita, yaitu Kahar Muzakir dari PP Muhammadiyah, KH Abdul Wahid Hasyim dari NU, dan HM Djojosoegito (pendiri gerakan Ahmadiyah).

Tiga sepupu yang lahir di bawah generasi KH M Hasjim As'yari itu banyak jasanya bagi Indonesia. Mereka banyak mengisi kegiatan menuju kemerdekaan negeri kita. Setelah wafatnya Djojosoegito, muncul letupan keinginan membubarkan Ahmadiyah,tanpa mengenang jasajasa gerakan itu di atas. Padahal dalam jangka panjang,jasa-jasa itu akan diketahui masyarakat kita.

Dalam melakukan kegiatan,mereka tidak pernah kehilangan keyakinan. Apa yang mereka lakukan hanya untuk kepentingan Indonesia merdeka.Karena itu,segala macam perbedaan pandangan dan kepentingan mereka disisihkan.Mereka mengarahkan tujuan bagi Indonesia. Mereka terus menjaga kesinambungan gerakan yang ada,guna memungkinkan lahirnya sebuah kekuatan yang terus menggelorakan perjuangan.

Hingga kemudian,NU melahirkan sebuah media pada 1928yangdinamai SoearaNU. Hal itu dilakukan guna memantapkan upaya yang ada.Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dipakai untuk kepentingan tersebut. Dalam nomor perdana majalah Soeara NU, KH Hasjim As'yari menyatakan bahwa ia menerima penggunaan rebana dan beduk untuk keperluan memanggil salat.

Namun, dia menolak penggunaan kentungan kayu. Menurutnya, penggunaan beduk dan rebana didasarkan pada sesuatu yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.Sementara penggunaan kentungan kayu tidak ada dasarnya.Hal ini disanggah oleh orang kedua NU waktu itu, yaitu KH Faqih dari Pondok Pesantren Maskumambang di Gresik.

Hal itu dimuat sebagai artikel balasan dalam media "Soeara NU"edisi selanjutnya.KH Faqih menyatakan, "Apakah KH Hasyim lupa pada dasar pembentukan hukum dalam NU, yaitu Alquran,hadis, ijmak,dan qiyas?" Segera setelah itu, KH Hasyim As'yari mengumpulkan para ulama dan santri senior di Masjid Tebuireng.

Dia menyuruh dibacakan dua artikel di atas.Kemudian, dia mengatakan, mereka boleh menggunakan pendapat dari KH Faqih Maskumambang asalkan kentungan tidak dipakai di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng itu. Terlihat di sini betapa antara para ulama NU itu terdapat sikap saling menghormati meski berbeda pendirian.

Hal inilah yang harus kita teladani dalam kehidupan nyata. Penerimaan akan perbedaan pandangan sudah berjalan semenjak Fahien memulai pengamatannya atas masyarakat Budha di Sriwijaya dalam abad ke-6. Prinsip ini masih terus berlanjut hingga sekarang di negeri kita dan hingga masa yang akan datang. Sudah pasti kemerdekaan kita harus dilaksanakan dengan bijaksana dan justru digunakan untuk lebih mengokohkan perdamaian dunia.

Karena itu, diperlukan kemampuan meletakkan perdamaian dalam penyusunan politik luar negeri,yang diiringi dengan tujuan memperjuangkan kepentingan bersama. Bukankah dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa menerima perbedaan pendapat dan asal-muasal bukanlah tanda kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan.
Bukankah kekuatan kita sebagai bangsa terletak dalam keberagaman yang kita miliki? Marilahkitabangunbangsadankita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali.

Sumber: Seputar Indonesia , Selasa 21 April 2009
Read More

6 April 2007

// // 1 comment

Antara NKRI dan Federalisme

Oleh: Abdurrahman Wahid

Istilah NKRI dipakai oleh para pendiri negara ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah sebuah negara dengan kepemimpinan tunggal dan arah perjalanan hidup yang sama bagi warga bangsa ini.

Namun kini istilah yang berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia, sering dijadikan lawan bagi sebuah istilah lain, yaitu keberbagaian (pluralitas) dan toleransi. Padahal itu semua perlu ada, untuk menjawab tantangan yang mengganggap kita tidak mungkin membuat sebuah negara dan bangsa yang bersatu.

Beberapa bidang telah memiliki format persatuan yang jelas sehingga tidak memerlukan penegasan. Contohnya adalah bahasa nasional kita yang dikembangkan dari bahasa Riau, antara lain oleh Raja Haji Ali,yang dimakamkan di Pulau Penyengat.

Dari bahasa Riau itu, kemudian muncul dua buah bahasa pada tingkat nasional, yaitu bahasa nasional kita -dikenal dengan nama bahasa Indonesia. Juga bahasa nasional Malaysia -disebut juga bahasa Malaysia. Untuk mendukung keberadaan bahasa Indonesia itu, dibuatlah istilah NKRI. Tentu saja, hal-hal seperti itu tidak pernah dijelaskan dengan gamblang.

Kesatuan dan ‘federalisme’ ternyata berkembang dengan baik dalam pengelolaan negara. Lalu timbul keinginan untuk menekankan kesatuan sehingga dengan sendirinya istilah NKRI semakin banyak muncul dalam pembicaraan di kalangan bangsa kita.

Sebab lainnya adalah banyaknya tuntutan otonomi yang akan semakin memupus kekuatan pusat (dan tentu saja semakin kuatnya kekuatan pemerintah daerah dan penambahan kekuasaannya).

Ada pihak yang merasa bahwa kedua hal itu tidak perlu dikemukakan lagi, minimal dalam rumusan resmi berbagai instrumen dasar negara kita. Dengan sendirinya, hal itu akan diliput oleh berbagai undang-undang organik. Dengan demikian, instrumen-instrumen dasar tersebut tidak perlu kita ubah dan tidak perlu adanya amandemen.

Namun sekarang pola dialog tentang UUD menjadi “kemasukan angin” dan kita lalu berdialog dengan menggunakan istilah yang berbeda- beda. Sebenarnya, kerancuan dialog inilah yang harus kita mengerti, bukannya “salah sambung” yang terjadi antara kita sendiri.

Memang, mencari pengertian yang sama tentang sesuatu hal, apalagi yang terkait dengan instrumen dasar sebuah negara, bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan juga kejujuran mutlak di samping kemampuan (expertise).

Karena itu, dialog di antara berbagai pihak tentang instrumen dasar negara seperti digambarkan di atas memerlukan kesabaran dan jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, cara “menyelesaikan” masalah undang-undang dasar kita memerlukan ketabahan yang boleh di kata luar biasa. Karena itu, panjangnya waktu dan penunjukan siapa yang membicarakan undang-undang dasar itu, menjadi sangat penting bagi negara kita. Penilaian akhir tentang perlu atau tidaknya UUD kita di amandemen, bukanlah perkara kecil.

Dalam sebuah halaqoh tentang konstitusi dan temu wicara hukum acara yang diselenggarakan DPP PKB dan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penulis adalah korban dari sebuah komplotan jahat yang akhirnya memaksa untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI pada 21 Juli 2001.

Mengapa penulis menamakan proses itu sebagai komplotan? Berarti ada sesuatu yang melanggar hukum dan menentang konstitusi? Jawabnya karena hal itu memang demikian, Dimulai dari Pansus Bulog dan Brunei Gate, yang dipimpin Bachtiar Chamsyah. Hal itu saja sudah dapat menunjukkan adanya proses idealisasi nilai-nilai yang dianggap “Islami” sebagai capaian yang harus diperoleh organisasi-organisasi Islam. Bukankah itu pelanggaran konstitusi? Bachtiar Chamsyah sendiri melakukan pelanggaran undang-undang dengan membiarkan pintu sidang-sidang pansus terbuka sekitar sepuluh centimeter. Maksudnya, agar para wartawan dapat merekam pembicaraan yang terjadi dalam ruangan.

Padahal, sebuah undang-undang secara spesifik melarang sidang-sidang pansus dilakukan secara terbuka. Memang, karena dari semula sejumlah parpol dan perwira tinggi TNI sudah memutuskan untuk menyingkirkan penulis dari jabatan Presiden RI. Karena itu, segala macam pelanggaran dibiarkan saja. Bahkan, alasan formal yang tadinya berupa ‘pelanggaran legalitas’ oleh penulis, akhirnya tidak dapat dibuktikan. Akibatnya, diambil keputusan politik untuk menyingkirkan penulis dari jabatan kepresidenan.

Langkah itu diambil dengan berbagai macam pelanggaran, seperti tidak adanya pembicaraan hal itu di DPR RI dan pelanggaran di Mahkamah Agung, ketika keputusannya diberitahukan kepada MPR RI oleh ketua Mahkamah Agung RI. Padahal, undang-undang menyatakan bahwa hal itu harus diputuskan dan disampaikan oleh sebuah komisi khusus di lingkungan MA sendiri.

Penulis bersedia mengundurkan diri dari jabatan tersebut, hanya karena ia tidak menyukai perang saudara antara sesama warga negara RI, yang tentu akan menimbulkan korban jiwa.

Nah, kepentingan pribadi para pemimpin partai untuk melengserkan penulis, ternyata membawakan konsekuensinya sendiri sehingga soal-soal yang berkaitan dengan kondisi hukum nasional kita terabaikan sama sekali dan tidak dibicarakan lagi.

Namun tentu saja, di antara hal yang penting dibicarakan dalam masalah pelanggaran terhadap konstitusi adalah akibatnya yang semakin banyak. Yaitu merajalelanya korupsi di hampir semua bidang kehidupan. Baik oleh warga negara di luar pemerintahan, juga oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Contohnya yaitu kemalasan para birokrat untuk mendasarkan perbuatan mereka kepada kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan.

Kaum birokrasi pemerintahan yang mana pun, membawa cara kerja mereka sendiri dalam menentukan sikap lembaganya. Langkanya penertiban atas cara kerja para pegawai negeri yang jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang itu, menimbulkan sikap bahwa hal itu harus mati-matian dipertahankan. Herankah kita kalau hal seperti itu melahirkan pendapat bahwa korupsi tidak bisa hilang dari negeri kita?


Jakarta, 6 April 2007

Sumber: GusDur.net
Read More

30 Agustus 2006

// // Leave a Comment

Birokratisasi Gerakan Islam

Oleh: Abdurrahman Wahid

Yang dimaksudkan dengan birokratisasi adalah keadaan yang berciri utama kepentingan para birokrat menjadi ukuran. Sama saja halnya dengan militerisme jika kepentingan pihak militer merupakan ukuran utama bagi perkembangan sebuah negeri. Jadi bukannya apabila kaum birokrat turut serta dalam kepemimpinan, seperti halnya jika para pemimpin militer ada dalam pemerintahan. Kata kunci dalam kedua hal ini adalah di tangan siapa kekuasaan itu.

Ada seorang pengamat militer dan ahli strategi perang dari Eropa Barat lebih dari seabad yang lalu, Carl von Clausewitz, mengatakan bahwa "perang terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para jenderal saja. Jadi perang adalah sebuah keputusan besar, yang secara teoretik harus diputuskan oleh seluruh rakyat dari sebuah negara". Demikian juga dengan gerakan Islam.

Gerakan Islam di negeri ini sudah ada, secara resmi dan terorganisasi lahir bersama hadirnya Muhammadiyah sejak tahun 1912. Namun sesuatu yang harus dipahami secara mendalam adalah Nahdlatul ’Ulama (NU), yang lahir pada tahun 1926, mempunyai asal-usul yang sama tuanya dengan Muhammadiyah. Yaitu ketika berabad-abad yang lalu, para ulama Islam mulai berbeda pendapat mengenai ziarah kubur dan sebangsanya.

Ulama yang memperkenankan hal itu, di kemudian hari adalah orang yang mendirikan NU. Sedangkan yang melarang kemudian mendirikan Muhammadiyah, sementara mereka yang ingin ’menjembatani’ di antara kedua organisasi tersebut, pada akhirnya mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun-tahun tujuh-puluhan. Pembedaan yang demikian sederhana ini, dilakukan untuk mempermudah pengertian kita saja.


Penguasaan Negara

Pada tahun 1984, Presiden Soeharto memutuskan untuk ’berubah haluan’. Kemudian ia melakukan upaya Islamisasi, melalui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sebagai seorang militer dan karena tidak mau disebut berpihak kepada salah satu dari kedua organisasi Islam di atas, maka Soeharto memilih untuk tidak mengutamakan aspek budaya dari gerakan Islam, melainkan lebih menekankan pada aspek kelembagaan/institusionalnya saja.

Hal ini ’sejalan’ dengan sikap Partai Katolik di bawah pimpinan Kasimo yang memberikan tempat khusus kepada gerakan Islam, sejak 1945. Sikap ini diambil sebagai penghargaan atas ’kesediaan’ gerakan Islam untuk menerima Pancasila dan ’meninggalnya’ gagasan negara Islam. Dengan tidak disadari akibatnya, maka sikapnya terhadap posisi kementerian/Departemen Agama lalu menjadi sejarah tersendiri dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu semacam persepsi bahwa departemen itu adalah berbidang banyak (multidimensi) dan merupakan semacam negara dalam negara.

Baru belakangan ada koreksi atas hal ini, dalam bentuk munculnya keinginan memperkecil ruang gerak departemen tersebut. Namun, birokratisasi di lingkungan Departemen Agama seperti sudah tidak dapat dihambat lagi. Segala hal dicoba untuk ’diagamakan’ dan sering tanpa mengingat batasan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam bentuk pemisahan agama dari negara, yang terutama dalam bentuk bantuan negara kepada gerakan Islam. Muncul sebagai gantinya adalah penguasaan negara atas agama.

Sikap seperti ini tentu saja menguatkan peranan institusional dari gerakan Islam. Segera saja, Departemen Agama mendorong terjadinya institusionalisasi gerakan Islam dengan cepat. Lahirlah MUI dalam tahun 1975 yang segera berkembang dengan pesat, karena didorong oleh anggaran belanja teratur dari Departemen Agama dan oleh manuver-manuver politik Presiden Soeharto waktu itu. Ciri utama MUI sejak berdiri adalah kepengurusannya di sisi oleh para pensiunan Departemen Agama dan nonpegawai negeri yang berposisi lemah. Dalam waktu sebentar saja MUI dibuat lebih mementingkan aspek kelembagaan gerakan Islam daripada pengembangan aspek kulturalnya. Hampir-hampir tidak ada pengecualian atas hal tersebut, termasuk dalam ’kebiasaan seremonialnya’.


Hilangnya Independensi

Di samping itu, keinginan untuk ’menyehatkan’ cara-cara kerja gerakan Islam, membuatnya terlalu jauh mengikuti proses institusionalnya saja. Dengan demikian, hilanglah sedikit demi sedikit tradisi gerakan Islam yang mengutamakan posisi non-pemerintah. Kalau dahulu KH M Hasjim As’yari dan kawan-kawan ’melawan’ pemerintahan kolonial dengan keputusan-keputusan agama murni, karena mereka bukan pegawai negeri, maka kini hilanglah tradisi itu sedikit demi sedikit.

Jika kenyataan bahwa KH A. Wahid Hasjim menjadi Menteri Agama dan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden di Republik ini tanpa menjadi pegawai negeri, maka itu adalah nostalgia belaka, dari perkembangan yang umum terjadi di lingkungan gerakan Islam sekarang. Kepengurusan NU pada tingkat provinsi pun, hampir seluruhnya sekarang dipegang oleh pegawai negeri yang hanya berpikir institusional saja.

Dengan demikian berkembanglah ’sikap ketergantungan’ kepada negara, dengan akibat hilangnya sedikit demi sedikit independensi yang dahulunya dimiliki gerakan Islam. Tentu saja orang tidak dapat berharap untuk ’menghilangkan’ aspek kepegawaian negeri itu, dari gerakan Islam di negeri ini. Tetapi toh tidak ada salahnya untuk berharap hilangnya ketergantungan itu.

Dalam pertemuannya dengan bermacam-macam lembaga dan tokoh-tokoh NU di daerah-daerah, penulis selalu dihadapkan kepada serba kurangnya ’fasilitas umat’. Yang umum terdengar adalah pernyataan semacam "pesantren kami melarat karena tidak dibantu oleh Pemda". Keluhan-keluhan semacam ini sungguh memilukan hati, karena itu berarti terkikisnya sebuah tradisi masa lampau, yang membuat Islam berkembang di negeri ini. Yaitu tetap berdiri walaupun berhadapan dengan pemerintahan kolonial yang secara keuangan/finansial sangat kuat posisinya.

Bahkan, tekanan-tekanan pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam pemilu di masa lampau, tetap dihadapi dengan tenang oleh umat Islam. Terpaksalah pemerintah (termasuk ABRI), melakukan manipulasi suara dan intimidasi untuk memenangkan pemilihan umum bagi Golkar di masa-masa lampau.

Penulis rindu kepada masa-masa seperti itu, ketika posisi masyarakat sangat kuat dan sanggup menandingi kedudukan birokrasi pemerintahan. Padahal, sekarang kita harus menghadapi kenyataan bahwa proses globalisasi juga memasuki kehidupan kita sebagai bangsa. Sebagai reaksi atas globalisasi itu, kemunculan fundamentalisme agama harus diperhitungkan sejajar dengan kemunculan nasionalisme sempit, seperti soal visa sementara orang- orang Papua ke Australia.

Sekarang kita lihat, mengapa kita mengalami krisis multidimensi demikian panjang? Salah satunya adalah gerakan Islam (dan juga gerakan-gerakan lain) sudah terlalu jauh mengalami birokratisasi. Bagaimana mungkin kita tangani korupsi (yang melibatkan kepentingan kaum birokrat) dengan baik, kalau kita tidak berani berpegang kepada kedaulatan hukum? Demikian juga, kalau kita tidak berani menegakkan kewibawaan aparat keamanan dan membiarkan ormas-ormas keagamaan Islam melakukan kekerasan, dengan sendirinya kendali atas keadaan hilang sama sekali.

Herankah kita jika nanti masyarakat mengambil inisiatifnya sendiri, karena jalan-jalan lain telah tertutup? Dalam hal ini, kita lalu tertegun oleh sebuah kenyataan: bukankah masyarakat sendiri yang akan menentukan perlunya sesuatu dalam kehidupan kolektif kita dilestarikan atau justru diubah?


Kompas, 30 Agustus 2006

Sumber: GusDur.net
Read More

29 November 2005

// // Leave a Comment

Ulil Dengan Liberalismenya

Oleh: Abdurrahman Wahid

Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri.” Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim A Mustofa Bisri. Sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainnya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan Assalamu’alaikum dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu, sehingga penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya. KH. Syukron Makmun dari Jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan Takbiratul Al-Ihram dan disudahi dengan ucapan Salam. Jadi, menurut paham Mazhab al-Syafi’i, Penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/kyai yang menjadi dosen juga sering mengubah “tanda perkenalan” tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah” (shabah al-nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada Penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

*****

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur’an: “Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan“ (wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (man kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun).

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat, Averros juga di“kafir”kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis Ahl al-Naqli (kaum tekstualis) dan penganut paham serba akal Ahl al-Aqli (kaum rasional) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi” (Ahl al-Dzawq), seperti dikemukakan oleh Al-Jabiri dari Universitas Yar’muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Imam al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), Ihya’ ’Ulum al-Din, yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci Al-Qur’an menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini” (Alyawma akmaltu lakum dinakum) dan “Masuklah ke dalam Islam/kedamaian secara menyeluruh” (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.

Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar-Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “muslim pinggiran” merasa di rumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar-Abdalla tersebut.

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat” (ikhtilaf al-A’immh rahmah al-‘ummah).

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahir terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghinggapi dunia Islam.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa yang dibawa Ulil Abhsar dalam bentuk pandangan liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU sendiri? Jawabnya terletak dalam kenyataan, bahwa di lingkungan NU, pembaruan pada umumnya terjadi tanpa menggunakan label apapun. Sewaktu KH. A. Wahid Hasyim kembali dari Mekkah pada tahun 1931, ia langsung mengadakan perombakan pada kurikulum madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berhasil, karena justru perombakan itu dilakukan tanpa nama apapun. Seolah-olah tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, ia menjaga perasaan orang yang masih mengikuti cara berpikir lama.

Yang menolak perubahan/karena perasaan dan pikiran mereka termasuk ayahnya sendiri (KH. M. Hasjim Asy’ari), dihargai dan di “orangkan”. Merekapun menahan diri dan tidak mengadakan perlawanan terbuka terhadap apa yang dilakukan. Demikian pula, ketika KH. Mahfudz Sidiq melansir gagasannya tentang prinsip-prinsip kebaikan masyarakat (Mabadi’ Khairah ‘Ummah) diawal-awal dasawarsa empat puluhan ia meletakannya dalam konteks memperkuat susunan masyarakat yang sudah ada. Maka gagasan itu langsung diterima tanpa kritikan apapun dari semua pihak di lingkungan NU. Sayangnya, beliau tidak berumur panjang dan meninggal dunia sewaktu pihak Jepang mulai menanamkan pengaruhnya di negeri ini. Demikian pula, ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Penulis juga melakukan perubahan-perubahan drastis, antara lain dengan memasukkan tokoh-tokoh muda pada kedudukan strategis di lingkungan NU. Tetapi itu semua dilakukan tanpa embel-embel apapun.

Lalu terjadilah perubahan-perubahan drastis, tanpa ada gejolak-gejolak apa-apa. Hal itu dilakukannya juga di lingkungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu banyak anak-anak muda menjadi fungsionaris penting dalam PKB, tanpa ada perlawanan berarti. Di sinilah letak pentingnya sikap yang jelas dari seorang pimpinan yang mengerti apa yang harus dilakukan. Nah, hal inilah yang justru diabaikan oleh Ulil Abshar Abdalla yang “terjebak” dalam label yang dibuatnya sendiri, atau yang dibiarkan tumbuh. Tentu saja perkembangan belum berakhir, karena Ulil kemudian “berdiam diri” dengan cara belajar di luar negeri. Sewaktu ia kembali ke tanah air nanti, mungkin ia dapat mengorganisir penerimaan lebih luas di lingkungan NU dengan cara “berdiam diri” seperti itu dulu.

Tuduhan bahwa ia selama ini tidak ikhlas memimpin umat, mungkin dapat ia tolak dengan cara seperti itu. Mungkin dukungan terhadap dirinya akan berkurang, namun di lingkungan NU ia akan diterima secara lebih luas, karena ia akan dilihat sebagai “orang sendiri”. Style atau gaya kepemimpinan seperti ini, memang merupakan ciri yang berdiri sendiri di lingkungan NU. Hal semacam inilah yang jarang dimengerti oleh orang-orang dari gerakan Islam yang lain. Penulis sendiri banyak melakukan perubahan-perubahan mengenai apa-apa yang ada di lingkungan NU, tetapi tidak pernah menyebutkan apa-apa yang dibiarkan. Ada anggapan orang akan perlunya perubahan di lingkungan luar NU agar orang-orang di luar NU lebih dapat menerima perubahan.

“Pengenalan keadaan” seperti inilah yang harus kita mengerti baik di lingkungan NU maupun di luarnya dan mengetahui keadaan seperti itu, kita akan dapat melakukan perubahan-perubahan di lingkungan gerakan Islam. Memang hal ini adalah sebuah keniscayaan yang mau tidak mau akan menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Nah, kemampuan menyusun kepemimpinan yang berlandaskan tidak hanya pikiran-pikiran, tetapi juga didasarkan pada hal-hal praktis semacam ini, adalah sebuah “modal” yang diperlukan. Antara gaya dan substansi kepemimpinan, harus ada keseimbangan yang menentukan kualitasnya. Ulil Abshar-Abdalla masih berusia muda tetapi memiliki potensi besar untuk menjadi pimpinan yang diakui semua pihak, dan untuk itu ia harus juga “memahami” hal itu. Kalau hal itu terjadi, maka Penulis makalah ini adalah orang paling berbahagia, di samping orang tua dan mertuanya sendiri. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit dilakukan, bukan?


Jakarta, 28 November 2005

Naskah ini penyempurnaan dari tulisan dengan judul yang sama sebelumnya. Disampaikan pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Menjadi Muslim Liberal”karya Ulil Abshar-Abdalla di Universitas Paramadina, Selasa 29 November 2005.


Sumber: GusDur.net
Read More

23 November 2005

// // Leave a Comment

Surga dan Agama

Oleh: Abdurrahman Wahid

Beberapa hari setelah tertembaknya Dr. Azahari di Batu, Jawa Timur, Habib Rizieq menyatakan (dalam hal ini membenarkan ungkapan) bahwa pelaku terorisme di Indonesia itu akan masuk surga. Ia menyampaikan rasa simpati dan menilainya sebagai orang yang mati syahid. Pernyataan ini seolah memperkuat pendapat seorang teroris yang direkam dalam kepingan CD, mati dalam pemboman di Bali akan masuk surga. Ini tentu karena si teroris yakin akan hal itu. Dengan demikian jelas bahwa motif tindakannya dianggap melaksanakan ajaran agama Islam. Ungkapan ini sudah tentu dalam membenarkan dan menyetujui tindak kekerasan atas nama Islam. Benarkah demikian?

Pertama-tama, harus disadari bahwa tindak teroristik adalah akibat dari tidak efektifnya cara-cara lain untuk ‘menghadang’, apa yang dianggap sang teroris sebagai, hal yang melemahkan Islam. Bentuk tindakan itu dapat saja berbeda-beda namun intinya sama, yaitu anggapan bahwa tanpa kekerasan agama Islam akan ‘dikalahkan’ oleh hal-hal lain, termasuk modernisasi ‘model Barat’. Tak disadari para teroris, bahwa respon mereka bukan sesuatu yang murni dari agama Islam itu sendiri. Bukankah dalam tindakannya para teroris juga menggunakan penemuan-penemuan dari Barat? Ini terbukti dari berbagai alat yang digunakan, seperti perkakas komunikasi dan alat peledak. Bukankah ini menunjukkan hipokritas yang luar biasa dalam memandang kehidupan?

Demikian kuat keyakinan itu tertanam dalam hati para teroris, sehingga sebagian mereka bersedia mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan bom bunuh diri. Selain itu juga karena adanya orang-orang yang mendukung gerakan teroris itu. Patutlah dari sini kita memeriksa kebenaran pendapat itu. Tanpa pendekatan itu, tinjauan kita akan dianggap sebagai ‘buatan musuh’. Kita harus melihat perkembangan sejarah Islam yang terkait dengan hal ini sebagai perbandingan.

Dalam sejarah Islam yang panjang, ada tiga kaum dengan pendapat penting yang berkembang. Kaum Khawarij menganggap penolakan terhadap setiap penyimpangan sebagai kewajiban agama. Dari mereka inilah lahir para teroris yang melakukan pembunuhan demi pembunuhan atas orang-orang yang mereka anggap meninggalkan agama. Lalu ada kaum Mu’tazilah, yang menganggap bahwa kemerdekaan manusia untuk mengambil pendapat sendiri tanpa batas dalam ajaran Islam. Mereka menilai adanya pembatasan apapun akan mengurangi kebebasan manusia. Di antara dua pendapat yang saling berbeda itu, ada kaum Sunni yang berpandangan bahwa kaum muslimin memiliki kebebasan dengan batas-batas yang jelas, yaitu tidak dipekenankan melakukan tindakan yang diharamkan oleh ajaran agama Islam, salah satunya bunuh diri.

Mayoritas kaum muslim di seluruh dunia mengikuti garis Sunni ini dan menggunakan paham itu sebagai batasan perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Karenanya, penulis yakin bahwa orang yang membenarkan terorisme itu berjumlah sangat kecil. Itulah sebabnya, dalam sebuah keterangan pers penulis menyatakan bahwa Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Rizieq, adalah kelompok kecil dengan pengaruh sangat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Akibat dari anggapan sebaliknya, sudah dapat dilihat dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap mereka itu.

Kita perlu mendudukkan persoalannya pada rel yang wajar. Pertama, pandangan para teroris itu bukanlah pandangan umat Islam yang sebenarnya. Ia hanyalah pandangan sejumlah orang yang salah bersikap melihat sejumlah tantangan yang dihadapi ajaran agama Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukanlah pendapat mayoritas. Selain itu, terjadi kesalahan pandangan bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan akan menguntungkan pihak agama. Padahal sudah jelas, dari proses itu sebuah agama akan menjadi alat pengukuh dan pemelihara kekuasaan. Jika sudah demikian agama akan kehilangan peran yang lebih besar, yaitu inspirasi bagi pengembangan kemanusiaan. Selain itu juga akan mengurangi efektivitas peranan agama sebagai pembawa kesejahteraan.

Agama Islam dalam al-Qur’an al-Karim memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan keadilan, sesuai dengan firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan” (Ya ayyuha al-ladzina amanu kunu qawwamina bi al-qisthi). Jadi yang diperintahkan bukanlah berbuat keras, tetapi senantiasa bersikap adil dalam segala hal. Begitu juga dalam kitab suci banyak ayat yang secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin agar senantiasa bersabar. Tidak lupa pula, selalu ada perintah untuk memaafkan lawan-lawan kita. Jadi sikap ‘lunak’ dan moderat bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan sebaliknya sikap terlalu keras itulah yang ‘keluar’ dari batasan-batasan ajaran agama.

Berbeda dari klaim para teroris, Islam justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hidup kita. Al-Qur’an menyatakan “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu). Dari perbedaan itu, Allah Swt memerintahkan “berpeganglah kalian pada tali Allah dan janganlah terpecah belah” (wa i’tashimu bi habl Allah jami’an wa la tafarraqu). Berbagai perkumpulan hanyalah menandai adanya kemajemukan/pluralitas di kalangan kaum muslimin, sedangkan aksi para teroris itu adalah sumber perpecahan umat manusia.

Kebetulan, negara kita berpegang kepada ungkapan Empu Tantular ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (berbeda-beda namun tetap satu juga). Kaum muslimin di negeri ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan negara Islam. Ia dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi patutlah hal ini dipertahankan oleh kaum muslimin. Karena itu, kita menolak terorisme dalam segala bentuk. Jika mereka yang menyimpang belum tentu masuk surga, apalagi mereka yang memberikan ‘rekomendasi’ untuk itu.


Jakarta, 23 November 2005

Sumber: GusDur.net
Read More