22 Juni 2004

// // Leave a Comment

Budaya Kita di Masa Peralihan

Oleh: Abdurrahman Wahid

Beberapa tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyelenggarakan lokakarya, membicarakan hasil-hasil penelitiannya mengenai 14 macam budaya daerah yang ada di Indonesia, terutama yang memainkan peran penting dalam masa peralihan bangsa dari tradisional memasuki modern. Salah satu di antaranya adalah budaya daerah di Ngada, Flores Timur.

Penelitian menemukan, di kawasan itu belum ada pengadilan negeri. Maka, masih banyak diberlakukan sistem hukum adat Ngada guna mengatur kehidupan masyarakat yang sudah berfungsi ratusan tahun.

Ketika bertandang ke Maumere di pulau yang sama tahun ini, penulis berdialog dengan civitas academica Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, penulis mendengar adanya pergulatan hukum di Larantuka. Ternyata di kawasan Pulau Flores sebelah timur itu, Pengadilan Negeri Larantuka telah mengganti hukum adat dengan hukum positif nasional. Sayang, penelitian empiris tentang pergantian fungsi hukum tidak sempat dilakukan saat itu. Bahkan rakyat tiba-tiba dihadapkan fenomena: kolusi antara sistem peradilan yang bersandar pada "mafia peradilan" di mana-mana, yang tentu akan membela kepentingan kekuasaan; dan melupakan perikemanusiaan dalam masalah hak-hak milik rakyat atas tanah.

Untuk menguasai hak milik rakyat atas tanah adat yang sudah mereka miliki/garap selama berabad-abad, keputusan Bupati Larantuka sebagai penguasa daerah dibenarkan pengadilan negeri setempat melalui perundang-undangan yang tidak pernah diuji Mahkamah Agung tentang status, apakah rangkaian Undang-Undang (UU) dan peraturan yang dikeluarkan tentang penguasaan tanah melanggar UUD atau tidak? Kita ketahui, hak-hak penguasa seperti itu "didiktekan" pihak eksekutif selama bertahun-tahun, melalui proses legislatif yang timpang dan Mahkamah Agung yang termasuk jajaran mafia peradilan. Patutkah kita heran bila terjadi korban jiwa dalam kasus yang mengakibatkan rakyat berhadapan dengan penguasa. Ironisnya, pemda memberi mereka "santunan sosial" “sesuai UU".

Dalam beberapa kasus, aneka kejadian seperti itu diprotes lembaga kemasyarakatan. Dalam kasus tanah rakyat di Larantuka, ternyata "digarap" seseorang pastor dari Keuskupan Larantuka, yang pembelaannya dibawa ke sidang Pengadilan Negeri Larantuka, dan akhirnya diterbitkan sebagai buku (yang memihak rakyat) oleh staf keuskupan itu.

Keberanian moral seperti itu jelas menunjukkan, telah muncul "peran baru" kaum agamawan yang turut ambil bagian dalam proses demokratisasi. Hal seperti ini juga terjadi tahun 1990-an, saat sepasang pria-wanita menuntut pengakuan moral dan status jelas dari perkawinan agama Khonghucu yang mereka lakukan, yang saat itu oleh Kantor Catatan Sipil Surabaya dianggap tidak ada.

Perkara itu, oleh Pengadilan Negeri Surabaya, implisit dinyatakan melanggar UUD. Namun, dalam pelaksanaannya mengalami aneka hambatan dari birokrasi karena pertimbangan politik yang dipaksakan oleh sistem politik kita yang ada demi kepentingan sepihak.

Dengan serta-merta, Khonghucu dinyatakan oleh penguasa sebagai "filsafat hidup". Mereka lupa, jutaan warga Khonghucu di negeri ini merasa Khonghucu adalah sebuah agama. Bahwa ada pihak lain, seperti Partai Komunis Tiongkok dan Pemerintah Singapura yang telah menganggapnya sebagai "filsafat hidup", tidak sekali-kali menghilangkan kewajiban kita untuk berpegang kepada anggapan kaum Tionghoa sendiri di negeri ini.

Cara melihat perubahan sosial ini sebenarnya harus memasuki segala aspek kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan demikian, proses peralihan bangsa berjalan alami. Ada yang tetap dan tidak mengalami perubahan, seperti prinsip moral/etika yang mengatur kehidupan kita; tetapi ada pula yang mengalami perubahan, terutama mengenai "manifestasi" prinsip itu akibat proses modernisasi. Pemahaman yang benar atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan kita tidak mudah dipetakan. Namun, tanpa "peta budaya", kita akan lebih banyak mengalami "kehilangan budaya" yang tidak dapat diganti oleh apa pun dalam kehidupan kita sebagai bangsa.

Dengan kata lain, kita akan mengalami aneka perubahan sosial yang liar, yang tentunya sama-sama tidak diingini. Apalagi perubahan-perubahan itu menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan kita sebagai bangsa. Kita tentu tidak mengingini perubahan asal berubah sehingga kita kembali tertinggal dalam mencari keseimbangan antara hal-hal material dan imaterial, atau sering disebut sebagai "pembangunan material" dan "pembangunan spiritual". Kita menginginkan keseimbangan yang secara relatif akan mengarahkan nilai-nilai yang berkembang, menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif bagi kehidupan bangsa dalam jangka panjang.

Karena itu, mau tidak mau kita harus memahami proses modernisasi dan tradisionalisme. Adalah sebuah kehormatan, juga berarti tantangan, untuk mengelola perubahan demi perubahan sosial itu sendiri.

Salah satu hal yang harus diperhatikan, menjaga tidak terjadi penghentian perubahan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, kita harus menerima apa yang buruk dari masa lampau selain yang baik. Dalam hal ini, ada adagium yang sering dipakai Nahdlatul Ulama, "tetap menggunakan hal-hal lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik" (al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Berpegang kepada adagium itu, pertentangan internal NU dapat diredam agar tidak menjadi tindak kekerasan. Ternyata, betapa penting arti persambungan keadaan dari waktu ke waktu. Maka, hal-hal seperti adagium itu patut menjadi pegangan kita juga dalam menghadapi masa peralihan yang kita jalani kini.

Hal-hal yang sederhana dan berbiaya murah mudah muncul dalam skala luas karena itulah yang menjadi keinginan masyarakat. Kita juga mampu melakukan hal itu bila mau mengembangkan alat-alat "kultural" yang senada, seperti pepatah Minangkabau "bule’ aia di pambuluah, bule’ kato di mufakat" (bulat air di pancuran, bulat kata karena mufakat), yang menunjukkan kepada kita, segala sesuatu harus dimusyawarahkan. Dan, pendapat yang berjumlah kecil harus mematuhi pendirian yang berjumlah besar, sedangkan yang besar harus menghargai pendapat mereka yang berjumlah kecil.


Jakarta, 22 Juni 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar