16 Oktober 2004

// // Leave a Comment

Benarkah ada Perbenturan Budaya?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Profesor Samuel Huntington mengemukakan gagasannya bahwa sekarang terjadi perbenturan anatara peradaban Islam dengan budaya Barat. Segera pendapatnya berkembang ke seluruh dunia, menjadi perdebatan sangat menarik tentang peradaban modern. Bukankah dibalik bungkus perbenturan antara peradaban itu, sebenarnya dimaksudkan perbenturan antara peradaban Islam dan peradaban Barat modern? Huntington antara lain menyebutkan ciri-ciri khas peradaban Islam, yang membedakannya dari peradaban Barat modern. Perbedaan itu adalah perbedaan klasik antara sebuah peradaban yang bertumpu pada sistem hukum (dalam hal ini hukum Islam/fiqh) di satu pihak, melawan peradaban barat modern yang bertumpu pada materialisme di pihak lain. Benarkah apa yang dikemukakan Huntington itu? Apakah sikap yang harus kita ambil sebagai seorang muslim dalam hal ini?

Beberapa bulan setelah Huntington mengemukakan gagasan itu, penulis diundang, pada awal dasawarsa 90-an, oleh Surat Kabr Jepang terkemuka Yamiuri Shimbun di Tokyo, untuk mengikuti sebuah diskusi. Topiknya adalah perbenturan peradaban (Clash of Civilizations) yang menjadi gagasan Huntington itu. Di muka dua ribu orang peserta, penulis menyatakan kepadanya, bahwa Huntington terlalu mementingkan perbedaan antar pohon, yaitu antara ‘pohon Barat’ dan ‘pohon Islam’, tetapi melupakan ‘hutan’ dari pohon yang dimaksud secara keseluruhan. Ia lupa bahwa tiap tahun, puluhan ribu orang kaum muda muslim belajar teknologi dan ilmu pengetahuan modern di negeri-negeri barat. Mereka tentunya bukan hanya belajar teknologi dan ilmu pengetahuan modern saja, tetapi juga peradaban barat itu sendiri. Belum lagi dihitung orang yang tidak belajar di sana, tetapi terkena pengaruhnya.

Anggap saja penulis adalah salah seorang diantara mereka. Penulis dapat mengatakan demikian karena sehari-hari ia berpakaian seperti orang barat, bercelana dan berbaju lengan pendek. Tetapi ini tidak berarti penulis menjadi orang Barat itu sendiri, atau ‘di Barat-kan’ dalam perilaku sehari-hari. Penulis tidak pernah merasakan/mencicip minuman keras (alkohol) maupun makan daging babi atau anjing. Jadi, penulis hanya menjadi ‘seperti orang Barat’, tanpa mengikuti mereka dalam segala hal. Tetapi, penulis juga bukan ‘lawan/musuh’ orang Barat. Karenanya tentu sulit dibuat sebuah kategorisasi sesuatu sebagai produk peradaban Barat atau Islam. Posisi ditengah inilah yang kini menjadi posisi mayoritas kaum muslim diseluruh dunia. Dan ini yang tidak dimengerti oleh Huntington.

Juga harus dimengerti, Huntington menggunakan ukuran moralitas ganda dalam konsepnya itu. Kalau kelompok ultra-keras (orthodox) Yahudi melempari mobil yang lewat di Jerusalem pada hari Sabtu, karena keyakinan agama mereka bahwa orang dilarang bekerja hari itu -padahal menyetir mobil bukanlah pekerjaan-, maka Huntington akan ‘menilai’ mereka memang aneh, tetapi tetap anak-anak peradaban Barat. Sedangkan kelompok-kelompok muslimin yang bertindak seperti itu di Jerusalem, akan disebut Huntington sebagai buah peradaban non Barat. Bukankah pengertian kita lalu dibuat rancu oleh Huntington dengan konsepnya yang bermoralitas ganda itu? Tetapi, moralitas ganda ini juga tidak hanya terbatas pada ‘orang-orang barat saja, melainkan juga di kalangan kaum Muslimin. Mereka berjubah, berjenggot, mengenakan serban dan membawa kelewang ke mana-mana, dapat dinilai dihinggapi rasa rendah diri.

Lalu, bagaimana kita seharusnya bersikap? jawabnya sederhana saja yaitu jadilah dirimu sendiri (be your self). Kata Prof. Jan Romeine dalam “Aera van Europa” yang terbit tahun 1954, menyebutkan adanya Pola Kemanusiaan Umum (Algemeen Menselijk Patroon). Pola pertama terjadi beberapa ribu tahun yang lalu, didasarkan pada tradisonalisme yang berintikan kekuasaan Raja yang bagaikan Tuhan dimuka bumi, perekonomian agraris, susunan masyarakat yang percaya kepada hal-hal gaib dan moralitas yang berpegang teguh kepada apa yang baik dan buruk. Pada abad ke-6 SM terjadi krisis pada peradaban-peradaban yang ada, sehingga diperlukan penegasan kembali wewenang Raja yang mewakili moralitas berTuhan satu. Lahirlah “Raksasa-Raksasa Moral” seperti Konghucu dan Lau Tse di Tiongkok, Shidarta Gautama di India, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka memperpanjang umur Pola Kemanusiaan Umum (PKU) I, kecuali para filosof Yunani kuno, seperti Thales, Socrates dan Plato. Para filosof itu mengembangkan ilmu pengetahuan yang menggunakan akal rasionalistik. Inilah ‘penyimpangan’ pertama orang Barat dari PKU I itu, yang disusul oleh berbagai penyimpangan-penyimpangan lain terkemudian. Akibatnya, setelah para filosof itu meninggalkan panggung sejarah manusia, maka penyimpangan dilanjutkan dengan adanya kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) disusul oleh perngorganisasian gereja, renaissance, abad pencerahan (Aufklarung), rasionalisme, revolusi industri, abad ideologi dan abad ketidakpastian (yaitu abad ke-20 M). Dari abad ke abad penyimpangan demi penyimpangan itu membuat dunia Barat pada akhirnya dapat memaksakan kehendak pada Pola Kemanusiaan Umum pertama, dan lahirlah sekarang Pola Kemanusiaan Umum ke dua.

Pada saat karya Romein itu lahir dipertengahan abad yang lalu, kita masih yakin akan supremasi “Dunia Barat” atas seluruh jagad raya. Namun pada abad ini keadaannya menjadi berubah. Peradaban Barat sendiri sekarang mengalami krisis yang mengancam supremasinya. Walaupun Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa satu-satunya, masih mencoba menerapkan pola lama yang bersifat penggunaan kekuatan militer, dalam kenyataan ia mulai terdesak oleh kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok. Munculnya Brazilia dan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru dalam perempat pertama abad ini akan membuat model geopolitik lama, yang didasarkan pada kekuatan senjata akan segera usang. Ini adalah “kenyataan sejarah” yang tidak dapat diingkari oleh siapapun.

Apa yang disebutkan di atas, pada akhirnya memaksakan hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Diantaranya adalah munculnya sasaran baru dalam kehidupan kita bersama sebagai umat manusia. Umpamanya saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dalam pemilu legislative yang penuh kecurangan oleh Komisi Pemilihan Umum tahun ini, mengemukakan empat buah sasaran yang menggambarkan kenyataan tadi. Empat sasaran itu adalah: demokratisasi Indonesia (yang harus ditunda dahulu pelaksanaannya); Membuat Indonesia menjadi “pimpinan” Dunia Islam; Membuat masalah-masalah dunia didiskusikan secara tetap di lingkungan negara-negara berkembang; Dan pendapatan manusia Indonesia menjadi 10.000 US$/ tahun. Orang masih tertawa akan hal ini, tetapi penulis melihat cara-cara untuk mewujudkannya dalam waktu 10-15 tahun yang akan datang.

Kalau sasaran itu tercapai, maka kombinasi antara kekuatan-kekuatan kultural, politik dan ekonomi akan membuat keseimbangan keadaan berubah sama sekali. Dalam percakapan dengan Wakil Menhan AS Paul D. Wolfowitz dan Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Munchen, Jerman baru-baru ini, penulis menyatakan bahwa penyerbuan Bush ke Iraq beberapa bulan lalu, tidak disertai kejelasan struktur politik mana yang dikehendaki AS, serta tidak memperhitungkan reaksi negara-negara tetangga Iraq. Di Iraq diperlukan pemerintahan Federal karena orang-orang Kurdi, Sunny dan Syi’I hanya dapat hidup bersama secara damai dalam struktur negara yang demikian. Sedangkan negara-negara tetangga seperti Saudi Arabia, Kuwait, Jordania, Syria, Turkey dan Iran yang belum sepenuhnya demokratis, tidak akan membiarkan Iraq tumbuh menjadi kuat dan demokratis sekaligus, seperti dicanangkan Bush. Mereka ingin melihat Iraq yang demokratis tapi lemah, atau Iraq yang tidak demokratis tapi kuat. Hal-hal seperti inilah yang membuat konsep-konsep seperti dikembangkan Huntington dan Jan Romein yang disebutkan di atas, menjadi kacau dan tidak relevan. Menarik sekali untuk melihat sejarah dunia dengan cara seperti itu, bukan?


Jakarta, 16 Oktober 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar