21 Mei 2004

// // Leave a Comment

Lilin dan Antikekerasan

Oleh: Abdurrahman Wahid

Hari Minggu di pertengahan Mei 2004, penulis menghadiri peringatan hari antikekerasan di lapangan Tugu Monas (Jakarta) dengan cara yang unik. Di samping berkumpul, mereka juga menyelenggarakan pawai sejuta lilin. Yang terlibat dalam peringatan tersebut adalah banyak dari kalangan artis dan pengusaha, bahkan tidak ketinggalan tokoh-tokoh budaya, seperti yang dilakukan penulis malam itu. Bahkan tidak ketinggalan para aktivis yang penulis jumpai malam itu.

Menariknya, justru para birokrat tidak tampak. Karena merekalah yang biasanya mengangkut rakyat ke suatu tempat untuk melakukan peringatan-peringatan dengan menggunakan kendaraan-kendaraan resmi, dan sudah tentu lengkap dengan biaya fiktif yang dikorupsi.

Tampak mereka melakukan hal itu untuk mengemukakan perasaan dan pikiran mereka bahwa peringatan Hari Anti Kekerasan bukanlah milik "golongan atas" saja, melainkan solidaritas semua kalangan di masyarakat. Karena memang antikekerasan jarang berasal dari atas, melainkan justru milik "kalangan bawah".

Kalau pemerintah yang mengadakan sebuah peringatan, berarti itu menjadikannya sebagai milik kalangan yang memerintah saja, dan menjadikan mereka sangat bergantung kepada pemerintah. Maka dengan "pawai sejuta lilin" itu yang dimulai dari Ratu Plaza hingga lapangan Tugu Monas, kawan-kawan justru menyatakan bahwa prinsip antikekerasan adalah "milik" semua kalangan di masyarakat.

Dalam peringatan itu diperlihatkan bagaimana solidaritas semua kalangan masyarakat kepada perjuangan antikekerasan sehingga terasa benar bahwa peringatan itu menjadi milik bersama. Dengan demikian, terjadilah sebuah proses "memiliki dan dimiliki" antara mereka di segala penjuru Tanah Air kita.

Luar Biasa

Ini merupakan peringatan yang memiliki arti simbolik luar biasa, dan sudah tentu menimbulkan rasa identifikasi diri antara para korban kekerasan dengan peserta dan pendukung antikekerasan. Memang, simbol perlawanan terhadap kekerasan adalah milik bersama dan bukannya milik pemerintah saja. Karenanya setiap peringatan yang membangun solidaritas, sangat diperlukan saat ini, dan penting sekali untuk menjaga kemurniannya dari mereka yang ingin mem- peralat solidaritas itu sendiri.

Jika peringatan-peringatan seperti itu dapat dilakukan untuk semua peristiwa, tentu akan menjadi sangat besar artinya bagi kita semua. Namun, kemampuan finansial kita untuk melakukannya memang sangat terbatas. Kemampun itu tidak datang dari kita sendiri, melainkan dari kalangan "counter elite" (elite tandingan) yang ada, sehingga sedikit banyak bernuansa politis. Terasa sangat kental bahwa peringatan itu mempunyai arti budaya dan ideologis.

Karenanya peringatan tersebut memiliki konotasi hubungan antargolongan yang sangat menarik. Apalagi ketika ia dikaitkan dengan proses demokratisasi di negeri kita, yang di saat ini sedang berada di persimpangan jalan.

Apakah akan terwujud seluruhnya melalui sebuah sistem politik yang benar- benar demokratis? Ataukah masih harus mundur entah beberapa puluh tahun lagi akibat ulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ingin memaksakan sebuah sistem pemilu yang diskriminatif, sebagai bagian dari upaya memelihara status quo?

Sejumlah pemimpin politik kita, melalui KPU itu, melakukan pelanggaran minimal atas UU No 4 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa disabilitas (kekurangan) seseorang tidak menghalanginya untuk menduduki jabatan- jabatan kenegaraan. Dengan congkak dan arogan, KPU menjadi alat yang sempurna untuk mengeluarkan "aturan main" yang tidak mengindahkan Undang-Undang Dasar 1945.

Tentu saja ini adalah kejadian yang menarik untuk diperhatikan. Bagaimana menilai sikap masyarakat, baik yang membuat pernyataan menentang arogansi tersebut, dan mereka yang tidak menyatakan sikap secara terbuka karena "memperhitungkan" akibat-akibat sikap terbuka itu sendiri atas diri mereka. Dengan kata lain, ini sejalan dengan apa yang dikatakan mantan Presiden AS Richard Nixon bahwa ada "mayoritas membisu" (silent majority) dalam sistem politik di mana pun.

Memang perjuangan menegakkan demokrasi melalui sistem politik adalah urusan bangsa secara keseluruhan, sehingga segala risiko dan akibat-akibat yang ditimbulkannya sah-sah saja dalam kehidupan suatu bangsa.

Jika kelihatannya di atas permukaan ia adalah sebuah pernyataan golongan minoritas saja, maka sebenarnya ia menyembunyikan mayoritas politik yang sangat besar. Inilah yang seharusnya diingat oleh para pengambil keputusan di negeri ini pada suatu saat.

Buas dan Galak

Kenyataan di atas dengan kearifan tersendiri sebenarnya harus dikaitkan dengan sebuah kenyataan lain dari sejarah, yaitu bahwa bangsa yang tampaknya tenang-tenang saja, dapat saja berubah sewaktu-waktu menjadi bangsa yang buas dan galak, dan menggunakan kekerasan terhadap sistem apa pun jika terlalu lama ditekan oleh para penguasa.

Kenyataan politik seperti itu dalam beberapa dasawarsa sejak kemerdekaan telah terjadi dengan segala akibat-akibatnya yang sangat merusak.

Ini merupakan peringatan yang harus kita pegangi dalam mengambil keputusan di semua bidang di negeri kita. Kekuasaan tidak dapat dipertahankan dengan cara-cara yang curang dan bersifat manipulatif.

Pemisahan dan indenpendensi bidang-bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam sistem kenegaraan kita justru didirikan untuk mempertahankan/mencapai demokrasi.

Kalau saja hal itu diingat selalu oleh para pengambil keputusan kenegaraan kita dan bukannya menjadi hiasan bibir belaka dalam sistem politik kita, maka akan tenteramlah kehidupan kita sebagai bangsa. Itu pun hanya bersifat relatif belaka, karena perjuangan hidup di segala bidang berlangsung terus melalui "perjuangan keras" yang tidak hanya tidak pernah berhenti, bahkan tidak pernah berujung pada tindak kekerasan.

Kalaupun terjadi riak-riak kecil dalam kehidupan kita, itu tidak usah terlalu diperhitungkan, tetapi diatasi dengan perundingan-perundingan yang matang. Kenyataan sejarah inilah yang selalu harus diingat dengan baik, dan diperhitungkan oleh kita semua. Harga yang harus dibayar sangatlah mahal jika hal ini dilupakan, terutama oleh para pengambil keputusan.

Kembali ke peringatan hari antikekerasan sedunia di negeri kita tahun ini. Peringatan itu dilakukan se-cara budaya/kultural, tidak semata-mata secara politis belaka.

Bagaimana sebuah peristiwa yang di negeri-negeri lain bersifat politis, di negeri ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang kultural. Itu menunjukkan kreativitas bangsa kita, yang tidak dapat dianggap sepele.

Dalam keadaan demikian, simbol-simbol yang dapat menimbulkan tindak kekerasan, dapat dijauhi dan tidak dilakukan.

Itu juga menunjukkan bahwa bangsa kita tidak menggunakan kekerasan, walaupun pada analisis terakhir kita tidak takut kepada penggunaan kekerasan itu oleh mereka yang memerintah.

Contohnya, peristiwa di sekitar Proklamasi Kemerdekaan. Ketika para pemuda "menculik" Soekarno ke Rengasdengklok dalam bulan Agustus 1945, mereka menempuh jalan damai untuk mencapai kemerdekaan dengan risiko akan menghadapi para penguasa Jepang dengan kekerasan.

Namun resiko itu tetap mereka ambil dan akhirnya kita menjadi bangsa yang merdeka melalui Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tesis inilah yang penulis gunakan dalam memahami kejadian-kejadian di sekitar proklamasi tersebut. Tentu saja, ia dapat saja dipahami dari sudut lain seperti "ambisi politik" yang dimiliki sejumlah kalangan atau sebagai "keterpaksaan sejarah" yang umum di kalangan manapun di dunia ini. Memahami hal itu saja sudah sulit, apalagi melaksanakannya, bukan? *


Jakarta, 21 Mei 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar