22 Mei 2004

// // Leave a Comment

Peluang Demokratisasi Melalui Pemilu

Oleh: Abdurrahman Wahid

Pengalaman melaksanakan pemilu di berbagai negara menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan ke arah demokratisasi kehidupan bangsa pada tahun 2004 ini. Di Turki umpamanya, Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Development Party), memenangkan pemilu di bawah pimpinan Recep Tayyip Erdogan (baca: Ridwan)memenangkan 2/3 kursi parlemen. Di Iran, keengganan rakyat untuk turut serta dalam pemilu karena adanya campur tangan Dewan Ahli Agama (Khubrigan), yang berisikan mayoritas ulama agama Islam dibawah pimpinan Ali Khomenei dan Presiden Muhammad Khatami. Dalam pemilu yang “hanya” diikuti sedikit jumlah pemilih itu, akhirnya proses demokratisasi berjalan, yang oleh sementara kalangan domestik di Iran sendiri dianggap sebagai “cacat hukum.” Hanya di Malaysia pemilu melahirkan pemerintahan dengan “model” yang sama dengan sebelumnya. Hasil pemilu di Malaysia itu pun menunjukkan adanya perubahan tertentu saja. Pemerintahan Datuk Sri Mahatir Muhammad berbeda dari pemerintahan berikutnya. Baik dalam gaya maupun agenda pemimpinnya, pemerintahan Datuk Sri Moh. Abdullah Badawi akan sangat berbeda, dan nanti berhasilkah ia merombak isi Undang-Undang keamanan dalam negeri (Internal Security Act atau ISA)? Kalau ia dapat berbuat demikian, berarti ada perkembangan baru dalam proses demokratisasi di negeri itu.

Namun sebaliknya, kemenangan partai konggres (Congress party), dengan pimpinan Sonia Gandhi, merupakan sebuah perubahan besar dalam “dunia perpolitikan” di India. Suara protes dari kaum “tak berpunya “ (the haves not), adalah isyarat utamanya. Kenaikan Produk Bruto Nasional (Gross National Product -GNP), ternyata hanya menggambarkan kenaikan kekayaan domestik negeri itu yang hanya dinikmati oleh “kaum berpunya” (the haves) saja dalam perekonomian nasional. Problem klasik muncul kembali: kenaikan penghasilan berkembang tidak merata, dan itu yang digunakan secara “cerdik” oleh kelompok pimpinan Sonia Gandhi. Namun, pemerintahan baru yang lahir dari pemilu tersebut, meneruskan (dan bahkan menambahkan) “politik Islam” yang dirintis oleh pemerintahan Vajpayee sebelumya. Menteri Luar Negeri (Menlu) India dan Menlu Pakistan bersama-sama berangkat ke Cina, sebagai “hal baru” dalam hubungan luar negeri kedua negara. Ghulam Nabi, pemimpin kaum Muslimin di Khasmir semakin lama “menikmati” kedudukan politik yang semakin penting, yang menunjukkan di masa depan dalam waktu dekat ini hubungan India-Pakistan akan semakin erat, terutama dalam “pemecahan damai” daerah yang secara resmi menjadi bagian India itu namun, selama ini menjadi “daerah sengketa politik” antara keduanya.

Di Filipina, Taiwan dan Timor Leste, pemilunya menghasilkan situasi yang tidak berubah pada tataran permukaan, namun menuju sebuah sistem politik demokratis di masa depan. Kita harus bergembira menyaksikan kenyataan ini, karena proses demokratisasi yang terjadi akan sangat berharga, minimal sebagai contoh-contoh yang sangat menarik bagi proses demokratisasi politik di negeri kita dalam jangka panjang.

Di negeri kita, pemilu dilaksanakan secara sangat berbelit-belit, dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana. Dengan kecerobohan cara kerja/kecurangan-kecurangan dan manipulasi penghitungan suara, KPU melaksanakan pemilu dalam 3 tahap. Pada 5 April 2004, melalui ketiga hal di atas dan ditambah dengan arogansi luar biasa, KPU menyelenggarakan pemilu legislatif yang juga “cacat hukum”, namun para pemilih kita secara pasif/menyerah demikian saja kepadanya. Kemudian, pada 5 Juli 2004, diselenggarakan pemilu Presiden yang dipermukaan secara “tidak resmi” menghasilkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri beserta pasangan mereka, sebagai pemenang.

Kemenangan tersebut harus diulangi lagi, minimal secara teoritis, dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden putara kedua tanggal 20 September 2004 yang akan datang, yang tidak akan diikuti oleh “para pencundang”, berjumlah 3 pasangan Wiranto-Sholahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudohusodo dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Secara teoritis pelaksanaan pemilu yang didasarkan pada UU No. 12/ 2003 akan demikian halnya. Namun, sebelumnya dalam menggagalkan pencalonan penulis sebagai presiden, KPU telah melanggar UU No. 23/ 1992 dan UU No. 4/1997, tanpa ada protes yang “didengarkan” oleh KPU, maka kita juga ragu-ragu benarkah UU No. 12/ 2003 itu tidak akan dilanggar oleh KPU dengan sebuah Surat Keputusan (SK) pada waktunya nanti?

Hanya ada dua buah “cara politik” untuk menghalangi pelanggaran hukum kembali oleh KPU tersebut. Pertama, keputusan pengadilan yang benar dalam kasus yang diajukan penulis, melalui sistem hukum nasional kita. Kedua, tindakan-tindakan protes oleh kalangan sangat luas dalam masyarakat bangsa.

Saat ini sudah terlihat ada perubahan dalam cara masyarakat menyatakan pendapat mengenai kedua macam pelanggaran pemilu oleh KPU tersebut. Dalam pemilu presiden- wakil presiden putaran pertama itu, para pemilih dengan nyata menunjukkan “sikap politik” mereka, yaitu sekitar 30% pemilih tidak memberikan suara alias golput, ditambah 22% yang diperoleh calon presiden Wiranto, dan sekitar 10% yang dimenangkan calon presiden SBY dari warga NU-PKB (karena cukup banyak warga NU-PKB menolak mendukung Wiranto yang dianggap sebagai “perwakilan” Orde Baru dan Golkar, yang selama ini menindas mereka). Maka jumlah suara golput, capres Wiranto dan sebagian SBY itu dengan total 62% suara merupakan “sikap” para pemilih tersebut yang menunjukkan bahwa sebenarnya pemenang tidak resmi pemilu 5 April dan 5 Juli 2004 itu adalah para pemilih NU-PKB. Ini berarti strategi yang digunakan penulis mencapai sasaran. Dengan kata lain, upaya penulis untuk memperjuangkan demokratisasi dengan “cara tersendiri” mencapai sasaran yang dikehendaki. Walaupun ada resiko, karena adanya penundaan bermulanya proses demokratisasi politik di negeri ini, dengan “dijegalnya” penulis untuk menjadi calon presiden saat ini oleh KPU, dengan resiko negara kita lalu dapat menjadi sasaran “penguasaan politik” oleh negara-negara lain, maka saat ini proses demokratisasi politik Indonesia tetap berlangsung.

Kita tidak tahu apakah yang akan terjadi dalam pemilu Presiden-Wakil Presiden tanggal 20 September 2004 nanti, namun yang jelas tentu ada suara-suara protes dari masyarakat pemilih terhadap pelanggaran demi pelanggaran undang-undang oleh KPU. Bahkan sesuatu yang terjadi berkali-kali itu dibiarkan oleh perangkat-perangkat hukum kita. Di sinilah akan kita lihat nanti, proses demokratisasi “model Indonesia” itu akan mengalami kemajuan atau kemunduran. Karenanya, sisa waktu yang tidak lama ini merupakan sesuatu yang sangat menentukan bagi kita semua. Pertama, akan terjadikah perubahan dengan cara damai, atau justru dengan cara menggunakan kekerasan? Berikutnya, bagaimanakah akan berjalan proses melestarikan, melanjutkan atau membuang hal-hal yang tidak kita ingini dalam proses itu sendiri? Protes sosial yang terjadi di mana-mana, bagi kita mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan?


Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar