9 Juni 2004

// // Leave a Comment

Memahami Fatwa Fiqh KH Abdullah Faqih

Oleh: Abdurrahman Wahid

Beberapa hari lalu, KH Abdullah Faqih dari sebuah pondok pesantren kuno (sudah berusia 171 tahun) di Langitan, Tuban, mengeluarkan sebuah fatwa yang menggemparkan. Kegemparan itu terjadi karena fatwa tersebut dianggap sebagai "fatwa politik" sang kiai. Padahal, sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang harus "dibaca" politis.

Hal itu terjadi karena fatwa tersebut dianggap merugikan salah seorang calon presiden RI untuk pemilihan pada 5 Juli 2004. Padahal, jauh sebelumnya, beliau berfatwa tidak setuju atas pencalonan seorang perempuan lain sebagai calon PKB untuk jabatan bupati Bojonegoro. Kepada penulis, yang disaksikan Choirul Anam dari DPW PKB Jawa Timur, beliau menyatakan keberatan atas calon tersebut karena perempuan.

Bahkan, setelah itu, beliau menyatakan keberatan atas calon bupati Nganjuk yang juga seorang perempuan dari PDI Perjuangan. Karena dia berpasangan dengan salah seorang tokoh PKB yang menjadi calon wakil bupatinya, penulis meminta agar secara formal PKB hanya mencalonkan Djaelani sebagai calon wakil bupati yang otomatis secara informal membuat pasangannya yang tidak disebutkan namanya itu didukung rakyat dalam pemilihan kepala daerah.

Diplomasi seperti itulah yang harus dilakukan, bukannya lalu begitu saja menolak secara politis hal yang sebenarnya menjadi "garapan" bidang lain (dalam hal ini fiqh). Begitu pula seperti yang digambarkan. Kiai kita itu mengeluarkan fatwa karena ditanya, bukannya mempunyai niat politik apa-apa dengan fatwanya tersebut. Kalau kita salah memahaminya, urusan bisa menjadi berantakan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendudukkan persoalan pada tempat sebenarnya.

Keperluan untuk itu jelas sudah tampak. Sebab, reaksi beberapa pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap fatwa tersebut, telah membuat kegaduhan dan hal-hal yang tidak perlu. Termasuk, komentar Hasyim Muzadi yang seharusnya mengetahui duduk perkara sebenarnya. Namun, karena "salah membaca" fatwa tersebut, dia menunjukkan kecerobohan akibat ketidaktahuan yang luar biasa. Bagaimana mungkin orang seperti dirinya bisa "salah membaca" sebuah fatwa, apalagi hal itu akan diikuti banyak kiai.

Dia seharusnya justru mendudukkan perkara dan menjembatani berbagai pihak mengenai kasus tersebut. Yakni, Megawati Soekarnoputri dan DPP PDIP di satu pihak, ulama di pihak lain, dan rakyat pemilih yang diharapkan mendukung Megawati dalam pemilihan presiden mendatang. Akibat "kecerobohan" tokoh tersebut, kita sekarang dihadapkan pada hal-hal di luar jangkauan untuk memperkirakannya.

Kalau kita mengerti secara mendalam, fatwa tersebut sebenarnya tidak harus ditanggapi secara negatif, melainkan secara bijaksana dan hati-hati. Warga pendukung Megawati menyatakan menolak fatwa tersebut dengan membubuhkan sekian banyak cap jempol yang menggunakan darah. Sebab, komunikasi antara pihak-pihak di atas terputus dan ditambah pihak Hasyim serta kawan-kawan yang seharusnya bisa bersikap bijaksana.

Namun, kejadian tersebut patut kita perdalam lagi. Berhakkah KH Abdullah Faqih mengeluarkan fatwa fiqh tersebut? Menurut penulis, beliau berhak melakukannya karena telah memenuhi syarat-syarat seperti ahlu al-Ifta (pihak yang mengeluarkan fatwa). Hal itu beliau capai, baik dalam potensi ilmiah keagaamaan maupun sebagai pimpinan pondok pesantren kuno yang telah mengeluarkan ratusan "bahkan ribuan" orang yang dianggap menguasai fiqh.

Hal lain yang patut diingat, beliau telah menunjukkan sikap yang konsisten dalam menetapkan hukum fiqh atas persoalan-persoalan yang serupa. Hal itulah yang justru membuat rakyat tunduk kepada beliau, tidak seperti sekian kiai yang sangat haus uang dan sangat terpengaruh para pejabat. Jika kita menganggap mereka memiliki kepentingan pribadi dan tidak memperhatikan kepentingan umum, merekalah yang disebut sebagai "ulama buruk" (ulama ’u al-su). Sedangkan KH Abdullah Faqih tetap dianggap sebagai salah seorang ulama saleh yang mewakili kepentingan agama dan dianggap banyak orang benar dalam perjuangan. Benarkah beliau demikian? Tuhanlah yang Mahatahu. Wallahu ’alam.

Kita mengakui, kita masih menilai orang berdasarkan keadaan lahiriahnya saja. "Nahnu nahkumu bi al-zawahir", kami menghukumi dari keadaan lahir. Karena itu, masih cukup banyak pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan hukum-hukum agama (fiqh). Misalnya, pertimbangan-pertimbangan politis, kultural, dan ekonomis. Tetapi, lebih-lebih, para calon presiden harus mampu memahami pendapat-pendapat serta pilihan-pilihan yang akan dilakukan "orang bawah".

Kelima pasangan calon yang ada sekarang ternyata tidak ada yang mampu memahami pikiran wong cilik seperti dinyatakan seorang pimpinan Syarekat Tani dari Bengkulu pada wawancara yang dipandu Fajroel Rachman dalam siaran di radio swasta di Jakarta pada 9 Juni 2004 pagi. Menurut dia, masalah dasar bagi para petani di Jawa dan Sumatera adalah kepemilikan tanah-tanah pertanian, kalau dibiarkan terus-menerus dalam satu dua dasawarsa mendatang. Hal itu akan membuat "tuan-tuan tanah" baru yang kaya raya dan sekarang menjadi petani akan tetap menjadi buruh tani yang melarat.

Tentu saja kita tidak ingin hal itu terjadi pada bangsa ini. Namun, keinginan tanpa usaha apa-apa hanya akan berakhir pada kegagalan. Karena itu, menurut penilaian tokoh tani tersebut, tidak ada pasangan calon presiden yang memiliki konsep jelas tentang cara menyelesaikan masalah dasar tersebut. Karena itu, secara inferensi (kiasan), dia seolah-olah menyerukan kepada para pemilih untuk tidak memilih siapa-siapa di antara pasangan calon yang ada untuk pemilu presiden mendatang.

Dia bahkan mengajukan kritik pedas kepada Siswono Judo Husodo, ketua umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang kebetulan juga menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Amien Rais. Pantas saja sikap tokoh tani Bengkulu tersebut demikian keras. Dan, itu disebabkan kelalaian kita bersama.

***

Dengan menguraikan keadaan seperti itu, penulis berharap bisa turut "menjernihkan suasana" menjelang hari pemilihan presiden 5 Juli 2004. Tentu saja, penulis bisa menggunakan cara-cara lain seperti pengajian umum dan sebagainya. Namun, karena berbagai media seperti itu memiliki liputan terbatas, justru tulisan dalam sebuah harian mungkin bisa mencapai liputan yang lebih luas. Teman-teman yang membaca tulisan ini akan berdiskusi tentang masalah tersebut. Itulah maksud yang ingin dicapai tulisan ini. Dan, rasa-rasanya, tidak percuma penulis mengemukakan uraian ini.

Di sinilah letak arti penting lembaga yang bernama pers itu sebagai "alat" penyebaran pendapat serta pikiran di kalangan masyarakat luas. Masih banyak cara lain yang bisa digunakan untuk menyatakan pendapat serta pikiran kepada masyarakat luas. Namun, belum tentu semua itu bisa mencapai khalayak (audensi) sebesar dan seluas yang dapat dijangkau hukum fiqh. Tafsir, hadist, Qa’idah al-Fiqh, Hikmat al-Tasyri’, dan sebagainya merupakan alat-alat yang harus dikuasai seorang Ahl al-Ifta dalam menunaikan tugas. Telah diupayakan oleh begitu banyak orang yang dianggap "menguasai ilmu-ilmu" agama. Namun, semuanya tidak pernah memberikan jawaban yang pasti dan sangat luas seperti fiqh "pegangan" ini.


Jakarta, 9 Juni 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar