8 Juni 2004

// // Leave a Comment

Apa Sebabnya Engkau Gila?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Judul di atas adalah pertanda dari sesuatu yang ditanyakan ribuan orang kepada penulis. Itu adalah terjemahan seenaknya dari judul sebuah novel tulisan Budd Schulberg dengan judul “What Makes Sammy Run?”, yang terbit tahun 1941. Dalam novel itu, sang novelis menceritakan apa yang mendorong Sammy melakukan sebuah tindakan yang menjadi identitasnya. Nah, pertanyaan serupa ditanyakan kepada penulis yang memutuskan untuk tidak memberikan suara dalam pemilu Presiden tanggal 5 Juli 2004. Kalau tidak ada yang mencapai kemenangan dengan suara mutlak (lebih dari lima puluh persen), maka dua orang calon yang tertinggi akan mengikuti putaran kedua untuk menjadi Presiden. Dengan tidak memberikan suara, alias golput, penulis mengajukan protes atas tindakan sewenang-wenang dan melanggar undang-undang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang penulis menjadi calon Presiden.

Undang-Undang yang dilanggar KPU itu adalah UU no. 23 tahun 1992 dan UU no. 4 tahun 1997, yang jelas-jelas menentukan bahwa orang yang cacat tidak kehilangan hak diplih dan memilih dalam sebuah pemilu di negeri ini. Untuk mengajukan protes atas keputusan sewenang-wenang dari KPU itu, yang juga dilakukan dengan sangat arogan, penulis memutuskan untuk melakukan tindakan “golput-ria” dalam pemilu tersebut, sebagai tanda protes yang dilakukan seorang warga negara. Karena golput adalah hak seoarng warga negara, seperti halnya memberikan suara dan ikut serta dalam pemilu, maka ia tidak dapat dilarang oleh siapapun. Ini merupakan hak prerogatif penulis yang tidak dapat dicegah oleh siapapun.

Kalau pihak Polri ataupun pihak-pihak lain mencoba menggagalkan pengunaan hak tersebut, mereka harus leih dulu melakukan penafsiran atas tindakan sewenang-wenang dan arogan dari KPU itu. Dalam hal ini, telah ditentukan oleh sebuah undang-undang bahwa yang berhak melakukan penafsiran atas sebuah peraturan sebagai produk hukum di negeri kita, hanyalah Mahkamah Agung (MA). Punyakah MA keberanian moral untuk melakukan penafsiran pada saat ini, sedangkan ia membiarkan saja pelanggaran oleh KPU atas Undang-Undang yang disebutkan di atas? Ketakutan MA akan pelanggaran atas Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar kita, sudah terlihat ketika badan tersebut tidak memberikan jawaban atas surat penulis yang meminta fatwa tentang pertemuan di rumah Megawati Soekarnoputri (Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta) pada tanggal 21 Juli 2001, yang mengalihkan sebuah proses hukum melalui Pansus Bulog I dan Pansus Brunnei, menjadi sebuah proses politik melalui Sidang Istimewa MPR-RI, yang dalam pandangan penulis melanggar UUD.

Benar tidaknya anggapan penulis tersebut, ditanyakan melalui sebuah surat di MA, yang sampai saat ini (lebih dari 3 tahun lamanya) tanpa ada jawaban dari MA sendiri. Bukankah ini menandakan, bahwa lembaga negara terhormat itu melalaikan kewajibannya? Memang ini tidak mengherankan, karena sistem peradilan kita memang sudah menjadi mafia tersediri. Inilah yang sebenarnya harus diprotes oleh seluruh bangsa kita namun tidak kunjung dilakukan, karena begitu banyak sebab. Bahkan, pemukulan dan penganiayaan orang yang ditahan pihak Polri sekalipun, tidak pernah ada yang menyanggah. Demikian besar kekuasaan orang yang memerintah di negeri ini sehingga masyarakat luas lumpuh dibuatnya.

Kepada penulis ditanyakan mengapakah tidak mau “berjuang dari dalam” untuk memperbaiki pemerintahan kita. Penulis melihat, jalan terbaik untuk melakukan proses yang berarti, adalah melalui tindakan Golput di atas. Bagaimanakah halnya dengan keseluruhan sistem pemilu kita yang ada? Jawabanya mudah saja, dengan menunjukkan kepada masyarakat (dengan sendirinya juga dunia Internasional) bahwa KPU selaku penyelenggara pemilu yang curang, ceroboh, manipulatif dan berbiaya sangat tinggi, adalah sesuatu yang tidak di dengar atau diikuti oleh para pemilih kita dalam pemilu kali ini. Tujuan akhir suara protes itu adalah perbaikan keadaan dan pelaksanaan pemilu itu sendiri di masa-masa yang akan datang dengan tujuan antara membubarkan KPU yang ada sekarang serta menggantikannya dengan KPU lain yang lebih bersih.

Protes seperti ini baru dilakukan sekarang, karena penulis melihat bahwa langkah membiarkan KPU menentukan keputusan-keputusan sendiri, akan mematikan proses demokratisasi yang baru mulai berjalan di negeri ini. Pernyataan calon Wakil Presiden Agum Gumelar baru-baru ini, bahwa ia merasa bangga atas langkah-langkah yang diambilnya bersama Kapolri Bimantoro dan Panglima TNI Widodo AS, untuk mencegah sebuah dekrit yang diajukan oleh penulis sebagai Presiden RI (yang di dasarkan pada pelanggaran konstitusi yang disebutkan di atas) merupakan kebodohan pandangan picik mereka tentang keadaan. Sayang sekali tokoh seperti itu sekarang menjadi calon wakil Presiden RI untuk pemilu yang akan datang. Justru untuk menghindarkan hal-hal seperti itulah penulis mengajukan protesnya di atas, yang dilakukan tanpa ajakan kepada siapapun.

Penulis sudah terbiasa dengan hidup di luar sistem politik kita, karena selama hampir 30 tahun di masa Orde Baru penulis lakukan hal itu, dengan segala konsekuensi yang diakibatkannya. Jika sekarang, penulis lakukan hal itu sekali lagi untuk menunjukkan bahwa masih ada yang melakukan protes di negeri ini, melawan kezaliman pihak pemerintan -yang diwakili oleh KPU dan sistem politik sekarang, tidak usah diherankan mengapa penulis mengambil sikap dan tindakan melakukan Golput tersebut. Walaupun akibat dari “suara protes” penulis itu memang dapat melumpuhkan seluruh sistem politik yang ada. Tetapi, bukankah itu yang memang menjadi sasaran kita bersama: penggantian sistem politik yang digunakan oleh bangsa ini. Bukankah reformasi yang dimulai dimulai para mahasiswa Universitas Trisakti ditahun 1998 bertujuan menerapkan sistem penggantinya, yaitu sebuah reformasi yang sebenarnya, ternyata “dicuri” orang.

Pandangan sangat pendek (myopia) yang dimiliki segelintir orang saja, haruslah dibenahi dengan mengusahakan berlangsungnya reformasi yang sebenarnya. Itu berarti berdirinya reformasi yang sebenarnya, dan ditinggalkannya reformasi yang telah “dicuri” orang. Apakah akibat dari tindakan yang diambil penulis itu? Jawabnya sederhana saja, yaitu meminjam bahasa sebuah iklan dalam media massa bukanya “survei membuktikan” tapi ternyata “sejarah membuktikan.”

Jika memang masyarakat tetap tidak berani mengajukan protes dalam bentuk apapun, atas tindakan tidak terpuji dari KPU tersebut, resikonya harus penulis tanggung sendiri. Tetapi, jika protes penulis itu disambut protes-protes oleh orang lain, maka berarti kita akan segera menyaksikan sebuah proses penerapan sistem politk baru oleh bangsa kita sendiri di negeri ini.

Hal harus dilakukan antara lain, membentuk sebuah sistem politik baru dengan dua hal utama yang menjadi persyarakatan pokok bagi sebuah demokrasi. Yaitu menegakkan kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan sama kepada semua orang warga negara dihadapan undang-undang dan sebagainya. Memang terdengar mudah dikatakan namun sangat sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 8 Juni 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar