26 April 2005

// // Leave a Comment

Mencari Apa Palupi? (Pandangan atas KUI)

Oleh: Abdurrahman Wahid


Judul tulisan ini adalah perubahan susunan judul sebuah film Indonesia yang dibuat pertengahan abad yang lalu, aslinya berbunyi “Apa Yang Kau cari Palupi?” Film itu merupakan sebuah upaya memotret negeri kita dari sebuah sudut penglihatan. Pertanyaan itu juga berlaku bagi Kongres Umat Islam, yang dibuka di Masjid Istiqlal, Jakarta, 17 - 21 April ini. Apa yang dicari KUI? Akan bersifat politikah forum tersebut atau tidak?

Mengapa kita pertanyakan hal itu? Karena tantangan yang dihadapi Islam dewasa ini tidak hanya bersifat politis, melainkan meliputi berbagai bidang kehidupan. Tidak hanya bersikap lokal, tetapi juga nasional, bahkan ada yang mempunyai cakupan internasional. Bentuknya juga berbagai ragam, dari yang non formal hingga yang formal. Juga ada yang memerlukan pemecahan oleh individual/perorangan, maupun kolektif. Demikian juga sifatnya, ada yang kultural (budaya) dan pada hakikatnya ini berarti melalui pendidikan kembali (re-edukasi). Karenanya, tidak ada sebuah jawaban yang dapat meliputi semua bidang itu sekaligus.

Bagi kaum muslimin sendiri, jangankan jawaban yang sama atas tantangan-tantangan yang dihadapi tersebut, bahkan mengenai jumlah kaum muslimin di seluruh dunia dewasa ini sudah berbeda-beda. Ada yang menyatakan, menurut perkiraan jumlah kaum muslimin di dunia ini satu milyar jiwa lebih, ada yang menyebutkan 857 juta jiwa. Perbedaan sebesar sekitar 150 juta jiwa itu tentu tidak sedikit. Belum lagi jika timbul pertanyaan; siapa yang harus melakukan “pembinaan” terhadap mereka menuju pemecahan persoalan-persoalan tersebut? Tanpa ada kejelasan mengenai hal ini, tentu kita dihadapkan pemecahan yang berbeda-beda atas persoalan-persoalan yang sangat kompleks itu. Di sinilah perlu adanya kejelasan mengenai forum tersebut.

Pertama-tama mengenai istilah ‘Umat’ itu sendiri. Dalam sebuah artikel panjang yang dimuat dalam jurnal Indonesia yang diterbitkan oleh Universitas Cornell beberapa tahun yang lalu, Sidney Jones menunjukkan bahwa istilah itu dipakai dengan pengertian berbeda-beda dan pada waktu yang berlainan. Ada kalanya itu berarti semua orang yang beragama Islam di negeri ini, di waktu lain berarti para anggota organisasi atau gerakan Islam. Manakah yang dimaksudkan oleh kata ‘Umat’ dalam Kongres Umat Islam itu? Kalau seluruh orang yang beragama Islam di negeri ini terkena, dengan sendirinya penulis sebagai orang pertama Partai Kebangkitan Bangsa termasuk di dalamnya. Kalau hanya anggota gerakan Islam, seperti orang-orang NU, mengapakah penulis tidak turut serta di dalamnya?

Dengan demikian terasa adanya ketidakjelasan mengenai peserta kongres itu sendiri. Nah, kalau tidak jelas, bagaimana kita dapat menilai sah atau tidaknya keikutsertaan seseorang dalam forum itu? Kalau mengenai keikutsertaan para peserta saja sudah tidak jelas, bagaimana halnya dengan keabsahan agenda yang dibicarakan di dalamnya? Sudah benarkah topik-topik yang dipilih, yang jelas-jelas tidak diketahui oleh mayoritas “umat” yang ingin diwakili? Bukankah ini berarti klaim kebenaran yang ditentukan/dirumuskan oleh panitia sendiri. Penulis terus terang saja merasa tidak terwakili oleh siapapun di dalamnya, berarti tidak terikat oleh keputusan apapun yang diambil. Dari kalangan manapun, ulama atau bukan, tidak ada yang mewakili pemikiran penulis tentang Islam dalam forum itu.

Dengan kata lain, Kongres Umat Islam itu bagi penulis adalah pencatutan nama agama mulia itu secara tidak sah, yang tentunya tidak mempunyai arti sama sekali dalam percaturan di negeri kita, politik maupun bukan. Sudah terlalu sering hal itu dilakukan selama ini, dan sudah saatnya diakhiri, untuk membiarkan pertumbuhan sehat bagi kaum muslimin sendiri dalam semua bidang kehidupan. Pengajuan klaim untuk berbicara atas nama kaum muslimin di negeri ini, sudah waktunya harus dihentikan karena ia merupakan kebohongan antara berbagai pihak yang ada dan hidup dalam masyarakat kita. Apalagi dalam bentuk pengajuan klaim yang tidak benar. Ambil saja sebagai contoh, ledakan bom oleh Amrozi di Bali, yang tentunya tidak dapat dibenarkan oleh kaum muslimin yang benar-benar memahami hakikat agama.

Adanya perbedaan strategi yang digunakan untuk mengembangkan peranan agama tersebut di negeri ini, berarti langkanya strategi tunggal dalam kehidupan beragama kaum muslimin di negeri kita. Kesimpulan tersebut merupakan penolakan yang jelas atas kecenderungan sementara pihak, untuk mengajukan klaim bahwa mereka “mewakili umat Islam” di kancah nasional. Bahkan sebenarnya, mereka tidak punya hak untuk mewakili Islam dalam bentuk apapun. Ini penting dikemukakan, karena masih saja ada yang melakukan hal itu dalam ukuran yang luas. Agama Islam berkembang di negeri ini melalui aktivitas kecil-kecil, seperti yang dilakukan oleh pengajian-pengajian oleh begitu banyak masjid, surau dan musholla. Tidak ada yang membimbing mereka secara seragam, sehingga pola yang diambil juga menjadi bermacam-macam. Dengan kata lain, pengembangan agama Islam di negeri ini terjadi pada umumnya sebagai aktivitas lokal, dan bukannya nasional.

Karena kesadaran ini jarang dikemukakan oleh para pengamat, maka dengan mudah diajukan klaim bahwa apa yang terjadi secara luas itu adalah kegiatan beberapa pihak tertentu. Padahal, yang terjadi adalah klaim kosong yang dengan mudah dilanggar oleh sejumlah pihak, terutama sejumlah pemerintah daerah. Pengaturan penyebaran agama selain Islam, umumnya oleh pemerintah daerah setempat, sebenarnya tidak lain untuk mengembangkan kepentingan sendiri. Ijin tertulis yang diberlakukan secara lokal, lalu menjadi alasan yang dicari-cari untuk menghambat penyebaran agama-agama lain tersebut. Di samping tidak fair, sikap ini adalah penyimpangan dari ketentuan-ketentuan undang-undang dasar kita sendiri.

Setiap orang warga negara tahu, bahwa persetujuan teknis secara tertulis, diperlukan untuk mengatur berdirinya rumah-rumah peribadatan (gereja, klenteng, dan vihara), dan ini dapat diterima oleh siapapun jika motifnya benar-benar bersifat teknis. Tetapi, dalam kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, setiap kali alasan yang diajukan selalu bersifat prinsipil yaitu “tuduhan” rumah peribadatan yang akan didirikan itu akan membuat kaum muslimin “terlena” dan berpindah-pindah agama. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah kebalikan dari kenyataan itu. Kaum muslimin yang di masa lampau berjumlah sangat besar untuk tidak mau aktif dalam kegiatan penyebaran agama mereka, kini secara massif menjadi giat dalam kegiatan itu, bahkan para artis juga turut serta. Namun ini menimbulkan reaksi bermacam-macam.

Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi para aktivis Islam untuk merasa khawatir akan perkembangan keadaan sekarang ini. Justru yang terjadi selama ini, adalah besarnya keinginan kaum muslimin sendiri untuk sesegera mungkin menyebarkan agama mereka seluas mungkin. Bahwa keinginan seperti itu memang besar, itu harus kita sadari. Tetapi, kita tidak dapat memaksakan perkembangan yang sebenarnya harus terjadi secara alami. Ini adalah bagian dari proses melestarikan sesuatu atau membuangnya di masa depan, sesuatu yang terjadi secara wajar dalam sejarah manusia, bukan?


Ciganjur, 26 April 2005

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar