14 Juni 2004

// // Leave a Comment

Golput Juga Merupakan Pendapat

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam pertemuan dengan Dewan Pimpinan Wilayah PKB yang datang dari seluruh penjuru tanah air, pada tanggal 29 Mei 2004 di Hotel Atlet Century Senayan, Jakarta), penulis mengemukakan sesuatu yang akhirnya menggemparkan. Padahal itu sebenarnya adalah hal biasa dalam kehidupan yang juga dijamin secara infrensi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu adalah pernyataan penulis, bahwa DPP-PKB telah memutuskan secara aklamasi untuk mendukung pasangan Wiranto-Sholahudin Wahid sebagai para Calon Presiden RI dan Wakil Presiden RI untuk pemilu yang akan diselenggarakan 5 Juli 2004 nanti. Sedangkan penulis sendiri, akan tetap pada posisi di luar sistem politik karena ditolak oleh Komite Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon. Karena berada di luar sistem, dengan sendirinya penulis tidak akan memberikan suara dalam pemilu tersebut, alias Golput.

Banyak kritikan diajukan untuk penulis karena sikap itu. Ada yang mengatakan, bukankah dengan demikian, penulis akan memecah suara PKB atau NU dalam pemilu presiden nanti, dan dengan demikian melemahkan kedudukan NU sendiri dalam percaturan lebih luas dalam kehidupan bangsa dan negara? Jawaban atas pandangan ini, adalah bahwa penulis hanya akan berkecimpung” dalam pemilu yang demokratis, namun karena proses sepenuhnya yang dikuasai oleh KPU melanggar UU no. 23 tahun 1992 dan UU no.4 tahun 1997, demokrasi melalui pemilu itu lalu mati. Jika hal ini dibiarkan, sedangkan itu harus dimulai tahun ini, untuk mencegah jangan sampai Indonesia menjadi bangsa dan negara yang tunduk sepenuhnya kepada “permainan” negara-negara lain, juga untuk memungkinkan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mensukseskan pembangunan kita secara benar.

Kalau kita “lalai” dalam hal ini, maka pembangunan kita akan macet lagi seperti yang sudah-sudah. KKN menjadi lebih merajalela sekarang, karena justru pemerintah sendiri terlibat didalamnya, mau tidak mau mengharuskan kita untuk berkewajiban menegakkan demokrasi yang intinya adalah kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara tanpa pandang bulu dihadapan undang-undang. Karena alasan-alasan diataslah, kita harus memperjuangkan demokrasi melalui pemilu tahun ini juga. Entah mengapa, dihadapkan manipulasi, kecurangan dan kecerobohan KPU dalam menyelenggarakan pemilu legislatif dan Presiden, semua pihak tidak ada suara untuk menentang, kecuali beberapa kelompok saja. Inilah yang membuat penulis “terpaksa” mengambil peranan yang mungkin terasa berlebih-lebihan.

Karenanya, memandang pencalonan penulis sama dengan pencalonan orang-orang lain, dalam pemilihan Presiden tahun ini, sama sekali salah dan tidak benar. Penulis menggunakan kepresidenan sebagai alat untuk demokratisasi, bukanya sebagai tujuan, seperti dilakukan oleh hampir seluruh calon-calon Presiden dan Wakil Presiden yang ada sekarang. Dengan kata lain, penulis berkeinginan merubah status quo, sedangkan calon-calon lain tidak jelas posisinya seorang pun. Tidak ada di kalangan mereka yang menyebut-nyebut kata demokrasi atau demokratisasi. Paling tinggi, adalah calon yang menyebutkan akan menciptakan pemerintahan yang bersih, tetapi tidak menguraikan bagaimana pemerintahan bersih itu akan dicapai. Inilah targedi bangsa kita. Tujuan menciptakan demokratisasi itu melalui pemilu Presiden tidak menjadi agenda para calon, sehingga kita lalu menjadi tidak jelas akan kemana negara dan bangsa dibawa setelahnya.

Karena “diganjal” pencalonan dirinya untuk menjadi Presiden RI, maka sebagai “suara protes” maka penulis akan mengambil posisi sebagai golput, alias tidak akan memberikan suara dan berada diluar sistem politik kita dewasa ini. Tidaklah wajar jika penulis lalu berkampanye untuk pasangan calon yang muncul, siapapun mereka termasuk dalam hal ini adalah adik kandung penulis sendiri, Ir. Sholahudin Wahid. Ini untuk menepis banyak anggapan, bahwa penulis akan mendukung dan berkampanye untuk pasangan calon Wiranto-Sholahudin Wahid. Ini adalah pengorbanan besar bagi penulis, yang juga adalah kakak kandung tokoh tersebut. Namun, demi tegaknya demokrasi, sanak keluarga, harta benda, maupun kedudukan apapun yang mungkin dicapai, haruslah, ditinggalkan dan dikorbankan oleh penulis.

Apa yang disebutkan diatas, oleh penulis dijalankan tanpa ragu-ragu. Penulis menganggap, jabatan adalah amanah dan harus dilaksanakan demi keadilan dan kemakmuran bangsa serta kokohnya negara. Semuanya itu memerlukan keberanian, yang seharusnya dimiliki oleh seluruh warga negara dan warga bangsa kita, apa lagi oleh KPU yang melanggar Undang-Undang dan melakukan tindakan-tindakan lalim. Dalam hal ini, KPU melakukan semuanya itu atas “perintah” sebagian politisi kita. Bahwa seluruh bangsa ternyata tidak ada yang memberikan koreksi kepada KPU,menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, ketakutan sangat besar yang menghinggapi bangsa kita. Kedua, kuatnya kedudukan birokrasi/pemerintah,sehingga orang tidak ada yang berani’’menentangnya’’.Justru inilah yang harus kita lawan sekuat-kuatnya, melalui pemilu yang demokratis untuk memilih badan-badan legislatif maupun presiden/wakil presiden. Berat memang, namun harus dilaksanakan, demi kepentingan bangsa dan negara.

Sikap penulis untuk menolak hasil-hasil pemilu, didorong oleh kenyataan bahwa tanpa demokrasi kita akan tetap saja tidak dapat menyelesaikan kerja-kerja besar yang seharusnya kita selesaikan di waktu-waktu lampau. Sedangkan tanpa demokrasi yang dimulai saat ini, bangsa dan negara kita akan terlambat menghindari permainan dan tekanan-tekanan dari negara-negara atau perusahaan-perusahaan multinasional di masa-masa yang akan datang. Struktur dan jalannya perniagaan Internasional, memiliki hukum-hukumnya sendiri yang sering dianggap sebagai pertimbangan-pertimbangan geopolitis,yang memang mengatur tata pergaulan internasional yang dinamai ’’kepentingan-kepentingan’’ nasional masing-masing negara. Karena itulah, melalui demokrasi kita akan mengembangkan kemampuan demi kemampuan yang ingin kita kembangkan di masa depan.

Inilah sebabnya mengapa penulis ’’begitu ngotot’’ dengan gagasan demokratisasi. Dan untuk membuat demokratisasi dapat di mulai tahun ini, maka pemilu presiden diperlukan untuk mewujudkan permulaan dimulainya proses demokratisasi dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Kalau perlu hal itu harus melalui ’’tekanan-tekanan’’ politik, seperti sikap tidak mau memberikan suara dalam pemilihan umum alias golput.penulis sendiri akan melakukan hal itu, walaupun tanpa mengajak-ngajak siapapun. Hanya saja, penulis harus pandai melakukan hal itu, yaitu dengan ’’mencoblos’’ semua kontestan yang menjadi calon presiden dan wakil presiden. Penulis tidak akan biarkan kertas suara dalam pemilu yang akan datang tanpa ada coblosan apapun untuk menghindari penggunaan kertas suara tersebut oleh pihak-pihak tertentu yang ingin melakukan manipulasi suara.

Golput adalah hak para pemilih karenanya penulis tidak melanggar undang-undang dengan sikap seperti itu, sebagaimana juga memberikan suara adalah hak dan bukannya kewajiban. Karena itulah, penulis ’’berani’’ mengambil sikap dengan tidak ragu-ragu tanpa mengajak siapapun dalam hal ini. Kalau ada yang mengikuti penulis dalam hal ini, maka secara hukum penulis tidak dapat di salahkan, kalaupun ada penafsiran dari pihak Polri bahwa jalannya pemilu akan terganggu oleh hal ini maka penulis ingin menyatakan, bahwa setiap penafsiran atas peraturan apapun di negeri ini harus dibuat oleh Mahkamah Agung dan bukannya oleh pihak-pihak menyamakan fungsi Polri dengan peranan Mahkamah Agung adalah hal yang harus kita lakukan. Mudah untuk di katakan, namun sulit untuk dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 14 Juni 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar