7 Juli 2004

// // Leave a Comment

Berbeda Keyakinan, Tujuan Sama

Oleh: Abdurrahman Wahid

Beberapa waktu lalu, menjelang pemilu legislatif tahun 2004, beredar VCD (Video Compact Disc) dengan judul “Gus Dur Dibaptis”. Saya tahu nama kedua partai politik yang mengedarkannya termasuk orang yang bertugas, namun tidak perlu dikemukakan dalam artikel ini, siapa mereka itu. Bukankah ini sikap yang diminta oleh Alquran, bersabar dan memaafkan tiap fitnahan? Hal ini kemudian dilanjutkan dengan beredarnya sebuah VCD ceramah agama oleh seorang mantan biarawati yang mendadak serentak mengeluarkan kebenaran mutlak Islam sebagai sebuah agama, dalam sebuah pengajian ibu-ibu yang menyatakan sikap menerima pemberkatan berarti persetujuan kepada tujuan gereja. Untuk klausul ini saya menjawab, bahwa saya sama dengan gereja dalam tujuan melayani kemanusiaan walaupun berbeda keyakinan.

Lagi-lagi sikap menghormati agama lain kembali dipersoalkan, bahkan oleh mereka yang tidak mengerti seluk beluk sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) agama tersebut. Kalau saja hal ini dimengerti mantan biarawati dalam pengajian ibu-ibu di Solo itu, tentu tidak terjadi penilaian yang disebutkan dalam tulisan ini. Hal itu penulis kemukakan, dalam jawaban berupa sebuah wawancara yang dimuat Solo Pos sehari setelah itu. Contoh akibat ketidaktahuan itu, menunjukkan adanya keharusan bagi kita untuk berhati-hati dalam menilai keyakinan agama seseorang. Apalagi kalau kita belum banyak tahu tentang keyakinan agama yang baru kita peluk itu. Kesadaran untuk berhati-hati ditekankan di sini, demi keutuhan kita sebagai umat beragama. Lain halnya, kalau memang diniatkan untuk membuat keadaan menjadi kacau.

Uraian tadi menunjukkan kepada kita, bahwa masalah keyakinan adalah sesuatu yang sensitif. Begitu juga persamaan tujuan untuk mengabdi kepada kemanusiaan oleh lembaga yang berbeda-beda keyakinan. Memang, sikap untuk mencurigai pihak lain sangatlah besar, kalau kita tidak berdada lapang dan selalu berprasangka baik kepada orang lain yang tidak sama keyakinannya dari kita. Di sini menjadi penting arti dialog antar agama, yang akhir-akhir ini begitu banyak digalakkan oleh pemerintah maupun berbagai lembaga agama. Ini diakibatkan oleh kenyataan, begiti banyaknya terjadi tindakan-tindakan menghukumi agama lain. Ditakutkan, sikap seperti ini akan berkembang menjadi sikap ekstrem (militan) yang mendasari terorisme radikal yang terjadi diseluruh dunia pada saat ini. Karena itu lahirnya ekstremitas sikap kaum militan itu, harus diimbangi oleh pandangan moderat (mutawasith).

Banyak cara lain untuk mengembangkan pandangan moderat itu, namun intinya tetap sama: menerima kebenaran keyakinan sendiri, dan menghormati pihak lain yang tidak berkeyakinan sama, dan menghormati pihak lain yang tidak berkeyakinan sama. Sempitnya pandangan, yang disebabkan dari langkah sikap tersebut, oleh firman Allah dirumuskan dalam Alquran. Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya. Kullu hizbin bima ladaihin farihuun.

Kesan mendalam diberikan kepada mendiang Mahatma Gandhi yang selalu bersikap menghormati sistem kepercayaan lain dari apa yang diyakininya. Karena itulah ia dianggap sebagai pahlawan kemanusiaan, karena penolakannya terhadap penggunaan kekerasan dan kegemaran akan produk orang lain. Kita boleh berbeda keyakinan dengan tokoh ini, tetapi kita harus menghormatinya.

Hal-hal semacam itu kita temukan di mana-mana, bahkan hingga tokoh politik yang meninggalkan kekuasaan, berada dipenjara untuk lebih seperempat abad lamanya dan kemudian memimpin upaya rekonsiliasi nasional, seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan. Kemampuan menyatukan dua kecenderungan saling berlawanan dalam diri manusia itu pada akhirya menjadi sesuatu yang kita hormati bersama. Melayani kepentingan kemanusiaan, adalah sesuatu yang mulia dan harus dilakukan manusia, walaupun ia bukan keharusan universal (fardhu ‘ain). Sikap seperti ini yang menjadi pelita hati yang menerangi jalan hidup kita. Semakin banyak orang bersikap demikian, semakin baik hubungan umat beragama yang ada dalam kehidupan masyarakat bangsa.

Memang benar, sikap demikian juga dapat tumbuh dalam kehidupan tanpa alasan-alasan keagamaan, tetapi karena ‘kesempitan’ pandangan agama yang dimikinya dapat membuat manusia menyimpangkan dari persaudaraan hakiki dengan orang lain, dan melalui tulisan ini lebih ditekankan kehadirannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, kesalahpahaman yang ada dalam hubungan antar agama yang saling berbeda itu, saling pengertian antar agama atau kebutuhan akan sikap berlapang dada harus diciptakan sebagai sesuatu yang senantiasa ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Ini lebih-lebih diperlukan, karena di permukaan, tampaknya tumbuh gejala kesempitan pandangan atas agama lain, sesuatu yang berlawanan dengan inti kehidupan kita sebagai bangsa.

Pada waktunya, sikap menghargai agama-agama lain itu harus diluaskan menjadi kemampuan dialog antaragama, pada tingkat internasional. Baru dengan demikian, pada pandangan tersebut mempunyai arti universal yang dikehendaki dalam hubungan antar agama di dunia itu, yang justru akan memperkaya kehidupan beragama kita di tingkat nasional. Kalau kita berkeinginan menciptakan tatanan dunia lebih adil, seperti menciptakan hubungan bangsa Israel dengan orang-orang Palestina, mau tidak mau kita harus memiliki kelapangan dada antar agama itu pada tingkat dunia. Dengan adanya hal itu, kita lalu meneruskan penimbaan nilai-nilai yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang buruk. Sesuatu yang mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 7 Juli 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar