26 Maret 2004

// // Leave a Comment

Jalan Rakyat Menuju Demokrasi

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam sebuah siaran radio swasta niaga, sosiolog Universitas Indonesia (UI), Thamrin Amal Tomagola menyatakan kesangsiannya bahwa Indonesia akan dapat mencapai demokrasi melalui partai politik (Parpol). Ia juga menolak keinginan kalangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, agar proses demokratisasi dipelopori oleh universitas, dengan tenaga-tenaga LSM dan mahasiswa sebagai perintisnya. Thamrin lebih menyenangi peranan universitas-universitas di daerah, sehingga pendapat daerah akan muncul lebih menonjol, ketimbang pendapat dari pusat-pusat keistimewaan (center of excellence) yang dibangun oleh sejumlah universitas-universitas berkaliber nasional, seperti UGM, UI, dan ITB.

Pandangan Thamrin sangat menarik untuk dikaji, karena terkait dengan sejumlah lembaga di daerah yang lebih mencerminkan desentralisasi-desentralisasi. Dengan kata lain, Thamrin mensyaratkan desentralisasi sebagai tonggak penguji bagi berlangsungnya demokratisasi di negeri kita. Benarkah? Penulis beranggapan tidak. Karena mengukur demokratisasi dengan desentralisasi kekuasaan sangatlah riskan. Menurut penulis, desentralisasi adalah hasil dari proses demokratisasi, bukan sebaliknya. Apabila terjadi proses demokratisasi yang benar, dengan sendirinya akan tercapai kematangan yang memungkinkan berlangsungnya desentralisasi kekuasaan.

Penulis yakin hal itu akan terjadi manakala ada sponsornya yang gigih dan konsisten. Dengan memberikan kepada kita semua untuk memilih pemimpin itu, penulis yakin bahwa pada waktunya akan muncul seorang pemimpin bangsa yang dapat melakukan sebuah proses demokratisasi. Ini berarti, penulis melihat adanya jalan bagi Parpol untuk mengembangkan demokratisasi tanpa terganggu oleh kemelut politik yang ada dewasa ini.

Kalau meminjam istilah Von Clausewitz dua abad yang lalu, bahwa perang terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para jenderal. Penulis beranggapan pula bahwa demokratisasi kehidupan kita tidak hanya cukup dirumuskan oleh para pengamat saja, setinggi apapun kredibilitasnya saat ini.

Soalnya ini menyangkut seluruh kehidupan bangsa, sehingga ia harus diputuskan oleh seluruh bangsa pula, melalui kesepakatan antara pihak eksekutif yang kuat dan pihak legislatif yang sama kekuatannya, dengan diperiksa oleh sebuah Mahkamah Agung yang bertanggung jawab.

Mayoritas Bisu

Bukannya kita mengabaikan para pengamat, tetapi kita tidak boleh terlalu mengagungkan mereka, seolah-olah mereka adalah pemegang kebenaran. Pendapat mereka, seperti juga pendapat orang-orang lain, mempunyai nilai sendiri. Apalagi mereka hanya mengenal dunia akademis saja, yang tidak boleh dijadikan kebenaran mutlak. Kebenaran yang harus kita ikuti adalah yang diputuskan oleh rakyat, melalui Pemilu itu sendiri.

Inilah yang oleh Richard Nixon, disebut sebagai ”mayoritas bisu” (silent majority), yang merupakan sebuah kekuatan ”pemberontakan” di Amerika Serikat 30-an tahun yang lalu. Ia ditertawakan oleh hampir semua pengamat, yang menguasai dunia pers, elektronika dan media cetak saat itu. Apalagi ia mengemukakan hal itu setelah ia terlibat dalam scandal Hess sewaktu ia menjadi wakil Presiden di bawah Presiden Eisenhower. Saat itu, ia dianggap sudah ”habis” karir politiknya dan tamat keterlibatannya dengan dunia pemerintahan, paling tidak demikianlah pendapat pers.

Namun Nixon adalah orang yang tidak mudah putus asa dan dalam waktu 30 tahun ia berhasil kembali ke dunia politik. Hal itu dilakukannya melalui dua cara. Pertama, ia mengumpulkan kekuatan politik dari partai Republik. Kedua, ia memulai sebuah tradisi baru dalam pemerintahan Amerika Serikat. Ia berbicara langsung kepada ”mayoritas bisu” yang dikenalnya dengan baik tanpa memperdulikan pendapat para pengamat, yang dinilai tidak tahu apa yang mereka lakukan.

Hal itu sekarang terjadi pula dalam perpolitikan Indonesia, dalam bentuk sikap acuh tak acuh para pengamat atas kepercayaan rakyat yang sebenarnya. Mereka tidak tahu bahwa kebanyakan rakyat yang akan memberikan suara dalam Pemilu nanti, membedakan antara mengerti dan tahu.

Rakyat tidak tahu banyak tentang dunia politik dan pemeritahan, tetapi mengerti mana yang baik dan buruk, dan mana yang benar atau salah. Mereka tidak dapat di tipu dengan slogan-slogan yang kosong dari kebenaran dan jauh dari kenyataan.

Mereka tidak mudah menelan oleh janji-janji kosong, melainkan mereka menyimak dengan tekun pernyataan demi pernyataan mengenai bagaimana demokrasi yang berintikan dan berlandaskan kedaulatan hukum. Dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan undang-undang. Dari sinilah mereka menjadi mengerti apa yang harus dilakukan, yaitu memberikan suara kepada pihak yang benar-benar melakukan upaya demokratisasi.

Mengerti Dan Tahu

Dari kenyataan ini, menjadi penting bagi kita untuk memiliki kemampuan membedakan, sikap mengerti dari kurangnya pengetahuan. Islam secara mendalam membedakan mana yang dianggap mengerti dan mengatahui itu. Dalam pandangan Islam, keterdidikan memiliki kedua dimensi itu. Karenanya, orang yang tahu banyak tetapi tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu masalah, belum tentu pendapatnya benar. Dalam hal ini, sikap mengerti dari seorang awam akan lebih punya nilai daripada pendapat ”para ahli”. Karenanya anggapan bahwa rakyat kita bodoh dan dapat dibodohi, harus diragukan kebenarannya.

Menurut pemahaman penulis, pendapat yang benar harus dapat dimengerti kegunaannya bagi kehidupan kita di masa depan. Atas dasar pemikiran seperti itulah, bangsa kita yang masih rendah pengetahuannya (menurut statistik), yang terbelakang dari sudut pengembangan SDM, mungkin saja mendirikan demokrasi. Warga bangsa yang bodoh dan kurang pengetahuan itu mampu menumbangkan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Dalam pada itu, mengapa pula transisi demokrasi tidak terjadi di negeri-negeri ASEAN yang lain, yang dianggap lebih maju dan canggih?

Tentu saja, tidak semua bangsa mengalami stadium yang sama pada waktu yang sama pula. Masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda, dan itu membuat sejarah peradaban umat manusia sangat menarik. Bangsa India, terlepas dari perbedaan antara kaya dan miskin yang demikian besar, ternyata memiliki disiplin hidup yang jelas untuk memprioritaskan teknologi terapan yang perlu untuk mengangkat derajat hidup mereka sebagai bangsa. Juga melalui sistim hukum yang memiliki pengekangan sangat kuat atas kekuasaan. Akan halnya kita, pengalaman bangsa kita yang serba beragam merupakan salah satu bahan ramuan yang akan melanjutkan demokratisasi di negeri kita.


Jakarta, 26 Maret 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar