17 Maret 2004

// // Leave a Comment

Apa yang Kau Cari Golput?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Tulisan ini terilhami dari almarhum sineas Asrul Sani yang membuat sebuah film, berjudul “Apa yang kau cari Palupi?” Baru-baru ini sebuah pemancar radio niaga swasta di Jakarta membahas tindakan sejumlah orang dan kelompok yang tidak akan memberikan suara dalam pemilihan umum yang akan datang. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, fenomena tersebut dinamai munculnya Golput alias golongan putih. Ini dapat dipahami, karena kekecewaan luar biasa pada hasil-hasil pemilu yang lalu. Semula mereka berharap pemilu menghasilkan parlemen yang benar-benar mewakili rakyat, pihak eksekutif dipimpin oleh tokoh-tokoh yang setia pada konstitusi jujur dan terbuka, kemudian pihak yudikatif dapat menghilangkan hal-hal negatif, seperti adanya “mafia peradilan” yang ditandai oleh korupsi oleh para hakim dalam memutusi sesuatu perkara.

Ternyata harapan mulia itu terbuka sia-sia belaka. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bukannya hilang, malah semakin merajalela. Hal ini ditunjukkan oleh adanya persekongkolan dalam menentukan keputusan-keputusan yang diambil dalam mengelola keuangan publik di dalam eksekutif. Anggota legislatif menjadikan kantor DPR-RI sebagai “showroom mobil termahal” dengan peragaan mobil-mobil mewah, seperti Jaguar buatan Inggris yang harganya aduhai itu. Setiap undang-undang yang dihasilkan menelan biaya miliyaran rupiah, karena untuk menyogok ‘yang mulia’ para anggota legislatif agar memberikan suara seperti yang dikehendaki pihak yang melakukan sogokan itu. Pihak eksekutif tidak mau kalah dalam hal ini, sehingga terjadi perlombaan yang sangat memilukan perasaan dan menyayat hati kita. Apalagi kalau pihak eksekutif dan legislatif, terutama pada tingkat pimpinan, sudah bersatu untuk meminta pihak yudikatif agar tidak dilaksanakan konsekuensi dari pelaksanaan sebuah udang-undang, seperti pada kasus dibebaskannya tuntutan atas Ketua umum Partai Golkar Ir. Akbar Tanjung dari tuntutan hukum, seperti diputuskan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sebelumnya.

Tidak heranlah jika lalu orang merasa khawatir hal ini akan berlangsung terus menerus, jika pemilu tetap berlangsung. Dalam pandangan banyak orang, pemilu hanya akan menghasilkan kemenangan kembali parpol-parpol yang sekarang menguasai jalanya pemerintahan. Dengan sendirinya, hanya tindakan melakukan boikot atas jalannya pemilu, atau dengan sebutan golput, yang dapat menunjukkan kepada khalayak dan kalangan tertentu di dunia, bahwa putra-putra terbaik Indonesia tidak ikut dalam pemilu, dan dengan demikian apapun hasil pemilu itu akan menjadi sia-sia belaka. Dukungan moral bagi pemerintahan hasil pemilu akan menjadi hilang secara keseluruhan, dan dengan demikian meraka merasa tidak turut bertanggung jawab lagi atas hasil pemilu itu sendiri. Dengan demikian, pemilu akan kehilangan makna yang sebenarnya, karena langkanya legitimasi.

Memang hal itu sudah dapat diperkirakan, setelah kita mendengar ucapan-ucapan narasumber pada waktu itu, yaitu saudara Fadjroel Rachman. Kata demi kata yang dikeluarkan menunjukkan bahwa ia adalah salah satu eksponen gagasan tersebut. Pertanyaan yang timbul: pantaskah ia bersikap seperti itu, apapun alasannya? Tidaklah mengherankan, jika kemudian reaksi demi reaksi berdatangan baik melalui telpon atau dikirim via SMS kepada pemancar radio niaga itu. Hampir seluruhnya menuntut pemboikotan pemilu itu secara total. Ini adalah contoh dari sebuah perkembangan politik dan komunikasi yang perlu diperhatikan lebih jauh.

Pesimisme yang ada tentang hasil pemilu yang akan datang, merupakan pemicu dari sikap untuk mendorong golput itu. Pesimisme itu disebabkan oleh banyak hal, yang akhirnya menimbulkan sikap untuk tidak mempercayai pemilu itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya. Kekecewaan demi kekecewaan melihat persiapan demi persiapan pemilu yang begitu rapuh, membuat mereka akhirnya memutuskan tidak ada perlunya mengadakan pemilu dengan biaya yang begitu mahal.

Masalahnya terletak pada hakekat pemilu itu sendiri yang telah diperintahkan oleh sistem perundang-undangan kita, yang harus dilaksanakan tahun ini juga. Bagaikan “Sabda Pandito Ratu” undang-undang itu adalah sebuah ‘mantera’ yang memerintahkan kita melakukan persiapan-persiapan teknis dan non-teknis bagi pemilu itu. Tidak peduli apakah persiapan-persiapan itu ternyata jauh dari sempurna, dan sering dijadikan ajang untuk melakukan manipulasi suara pada waktu pelaksanaan pemilu yang tinggal beberapa minggu lagi.

Dari sekarang, kita sudah tahu hasilnya tidak akan memuaskan siapapun. Namun, menyerahkan jalannya roda pemerintahan kepada penguasa-penguasa tanpa melalui pemilu, rasa-rasanya sangat berjauhan dari sikap hidup kita sebagai bangsa. Kita adalah bangsa pejuang, yang sanggup hidup dalam keadaan apapun, tanpa kehilangan akal sehat kita. Kita tetap dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan melakukan pemboikotan terhadap jalannya pemilu, berarti kita kehilangan keuletan berjuang itu, dan hanya mengingini sesuatu yang dibuat orang lain dan disajikan orang lain diluar diri kita.

Penulis mengetahui benar kelemahan, kesalahan dan kekurangan prosedur yang akan dipakai dalam pemilu yang akan datang. Bahkan teman-teman penulis melihat sejumlah kawan yang kompeten dan memiliki persyaratan-persyaratan formal untuk menjadi Caleg, namun mereka “di potong” dari kemungkiran itu, baik oleh parpol mereka sendiri; maupun oleh KPU. Demikian juga, ada Caleg yang masih menjadi pegawai negeri sipil, ketika ia masuk dalam daftar Caleg yang disahkan oleh KPU, dan KPU menolak untuk mencoret namanya dari daftar. Entah karena apa. pelanggaran undang-undang seperti ini ditolelir oleh KPU, padahal itu adalah tindakan kriminal yang setaraf dengan penyerahan ijazah palsu kepada KPU. Penulis tak kunjung mengerti mengapa dalam hal pertama KPU tidak mau melaksanakan kebenaran, sedangkan dalam kasus kedua bersedia melakukannya.

Kasus Golput diatas menunjukkan kepada kita, bahwa masih terdapat kesenjangan sangat besar antara kaum elit dan gagasan rakyat kecil, baik yang ada di desa-desa maupun di kota. Jika kaum elit di kota itu benar-benar melakukan pemboikotan terhadap pemilu, melalui pemunculan golput, penulis yakin rakyat di pedesaan akan tetap turut serta dalam pemilu, melalui pemberian suara mereka. Kalau ini terjadi, berarti rakyat di desa-desa atau di kota-kota tidak memiliki kegamangan seperti dirasakan kaum elit itu. Nah, siapakah yang bersalah dalam hal ini? Kaum elit-kah, yang tidak mencari tahu terlebih dahulu bagaimana sikap rakyat kecil terhadap pemilu, atau sebaliknya?

Terus terang saja, dimata penulis rakyat kecil itu tidak bersalah karena memang mereka tidak pernah memperoleh komunikasi yang cukup. Di samping itu kepercayaan rakyat kecil terhadap pemilu kita, memang cukup besar. Jika harapan ternyata tidak menjadi kenyataan, maka mereka menganggap hasil buruk yang diperoleh dari pemilu hanya menjadi tambahan belaka darii rangkaian penderitaan yang mereka dapati sebelumnya dari kaum elit, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Bahwa mereka berani maju ke kotak suara untuk memberikan suara, menunjukkan bahwa mereka tidak takut kepada kemungkinan buruk, sebagaimana yang dialami kaum elit kita yang terpelajar. Tapi dapat diduga, jika pemilu kita ternyata tidak menimbulkan bencana, maka para elit itu juga akan turut menikmati hasil-hasilnya. Kalau sudah begini, kita patut bertanya: apakah benar rakyat kecil tidak mempunyai kebijaksanaan (Wisdom)? Karena itu kita harus berhati-hati mengambil sikap. Tetapi ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?


Jakarta, 17 Maret 2004

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar