30 September 2003

// // Leave a Comment

PKB, TNI Dan Pembelajaran Demokrasi Kado Harlah Untuk Tentara Kita

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dapat dikatakan 26 September 2003 malam adalah hari bersejarah untuk PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Malam itu DPP PKB mengadakan rapat pleno, yang dihadiri oleh banyak orang, mereka adalah Dewan Syura (Dewan Musyawarah) lengkap, Dewan Tanfidz (Dewan Pelaksana) lengkap, para Ketua, lembaga-lembaga dan departemen-departemen di lingkungan DPP PKB, tapi hanya 36 orang yang mempunyai hak suara. Banyak masalah dibicarakan, termasuk paparan Khofifah Indarparawansa mengenai proses pencalonan di lembaga legislatif dan penempatan saksi-saksi dari PKB di tempat-tempat pemungutan suara dalam Pemilihan Umum yang akan datang. Tetapi yang paling banyak memperoleh perhatian adalah pembahasan mengenai penempatan kembali (reposisi) bagi Sekjen DPP PKB Syaifullah Yusuf. Setelah pembahasan berjalan sekitar 3,5 jam maka disetujui bersama adanya pemungutan suara diantara 36 orang tersebut. Untuk memperoleh suara terbanyak guna menentukan jawaban atas salah satu dari dua pertanyaan berikut: reposisi berlaku sejak saat ini, ataukah setelah pemilu legislatif April 2004 nanti?

Oleh penulis dikatakan ini adalah hari bersejarah bagi PKB, kerena sebuah keputusan demikian penting diambil melalui pemungutan suara. Akhirnya, dengan selisih satu suara saja, rapat menententukan reposisi itu mulai berlaku sejak masa setelah pemilu legislatif yang akan datang. Ini adalah hari bersejarah, karena melalui proses sangat demokratis itu, telah diambil keputusan yang mengikat seleruh anggota PKB. Bahkan Ketua Umum Dewan Syura atau Dewan Tanfidz sekalipun tidak dapat menganulir hal itu, berarti kedaulatan di lingkungan PKB tidak terletak ditangan Ketua Umum melainkan ditentukan secara kolektif. Inilah esensi demokratis yang diperjuangkan partai tersebut, di saat semua lembaga politik di negeri sangat bergantung kepada Ketua Umum masing-masing dalam mengambil keputusan.

Dengan demikian, praktek demokrasi dalam lingkungan PKB dapat ditransformasikan secara langsung kepada praktek demokrasi dalam lingkungan lebih luas, yaitu di lingkungan bangsa dan negara kita. Kalau hal ini berlangsung terus menerus berarti demokrasi akan hidup di negeri kita, selama para pemilik negeri ini memberikan suara mayoritas kepada partai politik yang melaksanakan demokratisasi itu. Bukankah ini berarti babak baru, yaitu babak demokratisasi dalam kehidupan politik bangsa kita? Inilah yang membuat rapat itu sesuatu yang bersejarah yang jelas bagi PKB sendiri, mungkin juga bagi bangsa kita. Inilah yang membuat semua pandangan tertuju kepada rapat tersebut.

****

Lalu, apakah hubungan kejadinya tersebut dengan lembaga militer yang namanya TNI, bukankah justru banyak pihak mempermasalahkan, lembaga militer itu mempunyai pola hubungan negatif dengan pemilu? Ini adalah penilaian yang sangat luas dimiliki masyarakat tentang kaum militer, yang dituduh akan “membunuh” demokrasi itu sendiri. Dilupakan orang bahwa banyak tokoh-tokoh militer, yang setelah pensiun justru menjadi tokoh-tokoh pendukung demokrasi, baik ditingkat nasional maupun internasional. Contoh yang paling mudah diambil, adalah Charles De Gaulle yang belakangan menjadi Presiden Prancis melalui Pemilu. Dengan berbuat demikian, dia menunjukan bahwa orang-orang militer pun harus menempuh jalan pemilihan umum untuk dapat diterima untuk menjadi pemimpin bangsa.

Penulis yakin, TNI kita pun memiliki orang-orang berwatak demikian, dia samping ada juga yang senantiasa menginginkan agar kita sebagai bangsa “kembali” kapada sistem otoriter yang dibawakan oleh pemerintahan Orde Baru. Memang jelas “pergulatan” yang sangat dahsyat di dalam tubuh TNI kita, antara mereka yang ingin kembali kepada status quo sistem pemerintahan otoriter dan mereka yang dapat menerima demokratisasi sebagai sebuah proses yang berjalan sangat lama. Kita ambil sebagai contoh Jendral TNI Purn.Wiranto dan Letjen TNI Purn. Prabowo, yang saat ini mengambil ancang-ancang menjadi calon presiden dari partai Golkar, melalui Konvensi Nasionalnya. Tidak penting bagi kita siapa saja diantara mereka yang secara serius benar-benar menjadi calon tersebut. Yang terpenting, adalah pengakuan mereka akan sistem pemerintahan multi partai yang demokratis dan ingin kita tegakkan dimasa depan bagi negara dan bangsa kita.

Di sini menjadi nyata adanya kewajiban bagi kita semua untuk tidak mudah berburuk sangka terhadap TNI kita. Memang mudah untuk bersikap demikian, karena di masa lampau dalam bentuk ABRI maupun TNI sangat banyak warga Angkatan, khususnya Angkatan Darat yang selalu bertindak politis. Mereka menggunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan yang sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sekarangpun masih ada yang demikian di dalam pemerintahan kita, namun semakin hari semakin tumbuh kekuatan warga TNI yang dapat menerima demokrasi, baik terpaksa maupun tidak. Guna memberikan kesempatan kapada mereka inilah, dalam sikap adil kepada mereka, kita tidak boleh berburuk sangka untuk menggangap seluruh warga TNI ingin mengokohkan status quo. Mereka yang berjiwa militeristik itulah yang harus kita tentang, bukannya seluruh orang-orang militer.

****

Dengan semangat seperti itulah penulis mengajukan usul memalui artikel ini, agar warga TNI diperintahkan/untuk diangkat menjadi pengawas penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), untuk menjamin ketepatan perhitungan dan manipulasi pengumuman suara itu sendiri. Penulis tahu usul seperti itu tentu dianggap “terlalu berani” oleh sementara kalangan di negeri kita, terutama kaum akademis dan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal itu adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, karena pengalaman menunjukkan “keburukan-keburukan” oleh orang-orang militer, dimasa lampau dan sekarang baik di negeri ini maupun di negeri lain. Karenanya kita tidak boleh marah dengan anggapan itu, karena itu adalah kewajaran yang dimiliki tiap bangsa. Tetapi kita tidak boleh mendasarkan asumsi-asumsi hanya pada sangkaan buruk belaka, baik disadari ataupun tidak.

Memang, masih banyak hal yang harus dibenahi dalam kehidupan bangsa ini, termasuk di kalangan warga TNI sendiri. Tetapi, di sini kita harus membedakan mana yang merupakan hal-hal teknis dan mana hal yang memerlukan keputusan politis. Keputusan untuk mengikutsertakan warga TNI dalam kegiatan Pemilu, di luar masalah keamanan dan pertahanan adalah keputusan politik yang harus kita ambil bersama. Hal-hal politis seperti itu harus diputuskan bersama, karena kalau tidak, akan membuka “peluang” bagi mereka yang berpikiran militeristik untuk “mengembalikan” status quo pemerintahan kita.

Menjadi nyatalah bagi kita, memang tidak mudah untuk mencari “penyelesaian” atas keadaan pemerintahan kita yang sangat kacau-balau. Kita harus berani melakukan “terobosan-terobosan politik” yang tadinya kita tidak duga untuk “sekedar” meratakan jalan bagi proses demokratisasi itu sendiri. Keberanian menanggung resiko yang harus diperhitungkan matang-matang merupakan sesuatu yang mau tidak mau harus kita lakukan untuk menegakkan demoktrasi di negeri kita. Memang beberapa usulan yang menyangkut sistem politik kita, tampak “terlalu berani”. Termasuk di dalamnya agar warga TNI secara institusional ikut serta dalam proses politik kita, seperti dalam usul yang penulis ajukan diatas. Sekarang jelas, bahwa proses demoktratisasi memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 30 September 2003

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar