22 Maret 2004

// // Leave a Comment

Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Kondisi Politik Kita?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mengumumkan bahwa dua pasangan calon Presiden-Wakil Presiden pemenang pemilu putaran pertama yang lalu, telah menerima sumbangan dana uang yang bersifat fiktif dalam. Dengan tidak mengenyampingkan pasangan-pasangan calon yang lain juga mungkin melakukan seperti itu, kita lalu mempertanyakan hal itu. Kejadian seperti itu berarti pelanggaran terhadap Undang-Undang (UU) No. 23 tahun 2003, yang menyebutkan sanksi diskualifikasi dari pemilu jika benar-benar terjadi. Bukankah jika benar terbukti demikian pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun ini akan menghasilkan pemerintahan cacat hukum? Kalau benar demikian, bukankah setiap orang dapat saja melakukan perlawanan, serta tidak mengakui pemerintahan tersebut? Apalagi jika hal itu di tutup-tutupi oleh berbagai pihak.

Sony Keraaf dari Universitas Katholik Atmajaya di Jakarta, dalam kapasitas orang yang terlibat dalam tim sukses Megawati Soekarnoputri, memberikan jawaban berbelit-belit sehingga kita menyimpulkan, memang demikian halnya. Sementara dari tim sukses Susilo Bambang Yudoyono, menjawab bahwa persoalannya belum diteliti secara mendalam. Ia tidak dapat memberikan jawaban pasti bahwa pihak SBY tidak menerima sumbangan yang melanggar Undang-Undang, apalagi sumbangan fiktif. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pihak SBY juga tidak mengambil langkah-langkah untuk menjaga agar sumbangan-sumbangan yang diperoleh, benar-benar bersih dan tidak melanggar Undang-undang. Kalau kedua belah pihak seolah-olah meragukan keterangan pihak ICW, apakah kita juga tidak boleh bersikap meragukan keterangan kedua pasangan capres tersebut?

Jika pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan kecerobohan, kecurangan, manipulasi suara dalam deretan kegiatan pemilu tahun ini, Mahkamah Agung bersikap ‘banci’ dan melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain, dan Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap tuntutan pasangan calon Wiranto-Sholahudin Wahid sebagai lemah (sedangkan MK sendiri menutup mata terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi), maka jelas pemilu tahun ini tidak memiliki harga apapun di mata rakyat, bersamaan denga adanya sinyalemen adanya korupsi besar-besaran dalam pembiayaan. Memang sangat menyedihkan namun ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun yang berwatak waras. Kita belum beranjak jauh dari “demokrasi model Orde Baru” yaitu hanya ‘membangun’ institusi demokrasi seperti MA, DPR,MPR, BPK, DPA, tanpa ada tradisi demokrasi di dalamnya. Hal itu ditambah dengan reformasi yang ‘dicuri orang’, akhirnya menghentikan langkah kita ke arah kehidupan demokrasi bangsa. Padahal tanpa demokratisasi secara penuh, kita sebagai negara tidak akan mungkin menjadi kuat dan menjadi pihak yang memiliki peranan penting dalam pergaulan antar bangsa. Tanpa hal itu, bagaimana kita akan membatasi penetrasi pihak luar di segenap bidang kehidupan? Bahkan negara-negara yang jauh lebih kecil dari kita, memiliki peranan lebih besar dalam percaturan internasional, seperti Singapura. Jadi kalau ada yang beranggapan bahwa negara kita kuat dan kokoh, maka hal itu tidak akan tercapai tanpa tegaknya kehidupan demokratis. Kekuatan bukanya berada pada klaim yang dinyatakan, melainkan oleh kenyataan yang ada dalam kehidupan.

Dengan demikian, persoalan lumpuhnya berbagai aparat negara kita, harus diatasi dengan menegakkan kedaulatan hukum secara obyektif. Kedaulatan hukum seperti itu hanya dapat dicapai manakala peraturan-peraturan dilaksankan, dan disertai tindakan-tindakan tegas terhadap pelanggaran demi pelanggaran hukum. Sebuah sikap untuk mengalihkan sanksi hukum dari pelanggarnya akan menyiksa mereka yang terkena akibat-akibatnya, terutama rakyat di bawah yang tidak berdaya. Karena itu, pengertian negara demokratis adalah kemampuan dalam diri sebuah bangsa untuk melakukan koreksi yang benar dan tuntas. Tidak ada jalan lain bagi kita, yang sebentar lagi akan menjadi salah satu kekuatan besar di dunia.

Telah beberapa kali ada bukti kesejarahan, bahwa sesuatu bangsa harus mengalami penjajahan bertahun-tahun sebelum pada akhirnya menjadi “sadar”. Dengan kebangkitan seperti itu, barulah dapat diraih kebesaran dan kejayaan yang selama ini dianggap ada dan menjadi milik bangsa tersebut. Contohnya adalah Jepang, negara yang membiarkan dirinya “tunduk” kepada pemerintahan Jendral Tojo dan mengabaikan demokrasi. Ketika dikalahkan dalam Perang Dunia II oleh tentara Sekutu, negara tersebut lalu diperintah sebagai negara jajahan oleh Jendral AS Douglas Mc Arthur, baru setelah itu Jepang benar-benar menjadi negara demokratis hingga saat ini. Bagaimanapun banyak kekurangannya sebagai negara, Jepang berhasil menjadi sebuah negara raksasa di dunia internasional, disegani dan diminta untuk melakukan banyak hal.

Dengan contoh kasus di atas, kitapun sebenarnya harus melakukan demokratisasi secara bersungguh-sungguh. Ini harus dimulai dengan menegakkan kedaulatan hukum, yang berarti “membenahi diri” untuk menciptakan pemerintahan yang taat kepada undang-undang. Ini juga berarti keharusan untuk melakukan rekonsiliasi nasional secara keseluruhan. Umpamanya saja, dengan menghentikan proses pengadilan atas kasus-kasus BLBI, apabila 95% kekayaan yang diperoleh dengan cara menggelapkan uang negara dikembalikan kepada negara. Namun penghentian proses pengadilan ini hanya berlaku untuk kasus perdata, sedangkan kasus pidana tetap berada di tangan para pelaksana hukum. Bahkan proses seperti ini harus berlangsung secara transparan. Selain itu seluruh PNS dan militer, serta kaum pensiunan, memperoleh kenaikan pendapatan dari negara. Ini untuk memungkinkan dikikisnya sumber-sumber utama KKN di negeri ini, yang kemudian diikuti oleh pelaksanaan hukum secara konsisten dan tuntas.

Akhirnya harus menjadi jelas siapakah yang harus bertanggung jawab atas “kacau-balaunya” persiapan, pelaksanaan dan penghitungan suara dalam rangkaian kegiatan pemilu di negeri kita tahun ini. Ini berati, kita harus sanggup memilah-milahkan mana yang menjadi tanggung jawab KPU, mana pula yang menjadi tanggung jawab Mahkamah Konstitusi atau Panwaslu. Baru dengan demikian, kita dapat memastikan adakah pemilu yang cacat hukum itu dapat diterima hasilnya oleh masyarakat luas atau tidak. Demikian pula, pemihakan pihak Polri kepada salah satu pihak diantara para peserta pemilu Presiden-Wakil Presiden pada putaran pertama, mana yang jujur dan mana yang melakukan tindakan yang turut serta dalam pemilu, guna mengetahui agar elemen-elemen peserta pemilu itu dapat dijaga di masa datang, dari tindakan-tindakan salah pada 20 September 2004 nanti.

Keberanian sikap memikul tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan, adalah langkah pertama ke arah penyehatan sistem politik kita, yang kemudian dapat dijadikan modal untuk pengembangan kebesaran dan kekuatan sebenarnya dari negara kita. Memang bangsa kita adalah bangsa yang besar dan kuat, sesuai dengan jumlah penduduk kita sebesar lebih dari 205 juta orang. Negara kita terletak dilintas utama perniagaan internasional, yang memungkinkan kita mengambil peranan dagang dan militer yang bersifat strategis. Itu akan membawa kita kepada peranan politik yang juga besar. Apalagi didukung oleh kekayaan alam yang berlimpah-limpah; dalam bentuk produk-produk hutan, hasil-hasil tambang dan kekayaan laut yang luar biasa besarnya. Ditambah dengan budaya aneka ragam yang kita miliki, jelas bahwa kita memiliki masa depan yang gemilang sebagai negara. Mudah mengatakannya, namun sulit mewujudkannya, bukan?

Sumber: GusDur.net

0 comments:

Posting Komentar